Artikel-artikel Terbaru

Neoliberalisme dan Gerakan Kultural Tou Minahasa


Oleh: Denni Pinontoan


Wajah Lain Kolonialisme dan Imprealisme dalam Neoliberalisme

Awal dari kolonialisme Bangsa Barat (Spanyol, Portugis, dan menyusul Inggris serta Belanda) terjadi sekitar akhir abad 15, yaitu antara lain ditandai dengan ditemukannya benua Amerika oleh Colombus. Kolonialisme kemudian semakin gencar dilakukan bangsa Barat kira-kira mulai awal abad 16. Sejak itu perlahan tapi pasti dunia mulai berporos pada satu peradaban, yaitu Bunia Barat. Sementara Dunia Timur dianggap kafir, bodoh dan terkebelakang. Padahal, di dunia Timur ini jauh sebelum kelahiran peradaban Barat itu, telah lebih dulu lahir beragam kebudayaan dan agama, misalnya Hindu dan Budha di India dan Tao dan Kong Hu Cu di Cina. Kelahiran agama-agama itu sekaligus juga menandai adanya peradaban maju di Dunia Timur sejak berapa abad SM. Di Dunia Timur inilah terdapat beragam sumber daya alam yang kemudian diincar oleh bangsa Barat. Selanjutnya…

=======================================

GOLPUT: Gerakan Kritik terhadap Orientasi Politik Elit Kita

Oleh Denni Pinontoan

29-Jan-2009, 15:03:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Ternyata yang paling gerah dengan fenomena Golongan Putih (Golput) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Betapa tidak, organisasi keagamaan Islam ini, bahkan sampai mengeluarkan fatwa haram bagi umatnya yang menjadi Golput. Aneh, sebab kenapa hak memilih untuk memilih atau tidak memilih digeser ke wilayah sorga dan neraka, atau tidak berdosa dan berdosa? Tapi, tulisan ini tidak bermaksud mengulas fatwa MUI itu, melainkan berusaha fokus pada fenomena Golput dalam Pemilu di Indonesia, yang terlanjur dikontroversikan. Selanjutnya…

=======================================

Bicara-bicara Tentang Caleg

Om Alo:

Ben, sekarang kata pilih caleg musti lia depe kualitas kang?

Om Beno:

Lantaran berdasarkan suara terbanyak?

Om Alo:

Dorang bilang bagitu.

Tanta Nece:

Tu ja bilang kualitas caleg bagini so?

Om Alo:

Kita lei nda tau no. Soalnya samua tu baliho-baliho caleg punya, ja bilang-bilang tu bagus.

Om Beno:

Iyo stou, depe kualitas doi no. Bagus nyanda depe banyak.

Tanta Nece:

Oh, jadi sbantar torang pe pemilu sama deng blante sapi dang?

Om Beno:

So bagitu stou..

Om Alo:

Kalu bagitu kita musti pilih partai yang ada gambar sama deng sapi dang?

Om Beno:

Kalu kita kwa mo pilih jo yang ada gambar sama deng pohong.

Tanta Nece:

Kita woon mo pilih parangpuang pe partai. Mar, nda ada kwa no. KPU nda kase lolos stou, lantaran depe lambang kata kwa dorang pe rencana parangpuan punya.

Om Alo:

^$#***!



Om Beno:

Oh, bagus itu.....

******************************************************

Dilema Sistem Suara Terbanyak dalam Pemilu 2009


Oleh : Denni Pinontoan


[www.kabarindonesia.com]

Akhir Desember 2008 lalu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menerapkan pola suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih di Pemilu 2009. Dengan demikian sekarang memilih caleg tidak lagi ditentukan oleh nomor urut, tapi suara terbanyak. Maka terkejutlah caleg-caleg yang waktu lalu berebutan nomor urut. Bahkan ramai terdengar banyak caleg yang telah membayar pimpinan partai untuk berebutan nomor urut jadi. Bukan hanya bagi partai lama, tapi partai baru juga terdengar marak praktek jual beli nomor urut. Mereka yang terlanjur membeli nomor urut kini gigit jari. Selanjutnya…

******************************************************

”Mesias Lahir di Pinabetengan”

(Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer)

Oleh Denni Pinontoan

Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks. Selanjutnya...

******************************************************

Menggagas Gerakan Kultural Orang Muda Minahasa:

Sebuah Usaha Melanjutkan Pemikiran Sam Ratu Langie

Oleh: Denni Pinontoan

(Disampaikan pada diskusi terbuka bertajuk “Sam Ratu Langie, Siapa yang Melanjutkan?” yang diselenggarakan oleh Gerakan Minahasa Muda (GMM), Selasa, 11 November 2006 di Hotel Tou Dano, Tondano - Minahasa)

Sejumlah pertanyaan tentang eksistensi Orang Muda Minahasa dan manusia Minahasa pada umumnya dalam pergaulan nasional, baik soal gerakan dan pemikirannya beberapa waktu terakhir ini kembali mengemuka. Pertanyaan ini bukan tanpa alasan yang rasional. Sebab, sebagai sebuah bangsa yang terkenal cerdas dan berani, tentu ketika suara-suara dari Minahasa hampir tidak lagi terdengar di level nasional bahkan internasional, maka ini tentu memunculkan pertanyaan. Soal siapa bangsa Minahasa tempo dulu, seorang jurnalis sekaliber Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, memuji Minahasa dengan berkata, ”Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.” Selanjutnya

******************************************************

Pembaruan Gerakan dan Pemikiran Kaum Muda:

Sebuah Harmonisasi Perbedaan Demi Kebenaran dan Kehidupan


Oleh: Denni Pinontoan

Ruang politik, social dan ekonomi kita yang besar adalah Negara Indonesia. Pada ruang yang lebih kecil, kita ada di daerah Sulut ini. Tapi, lebih kecil dari itu, tapi memiliki daya gerak yang besar, adalah komunitas kita sendiri yang meski berbeda-beda ideology, tapi dalam pemikiran dan gerakan ternyata bertemu dalam keprihatinan yang sama terhadap penderitaan rakyat. Selanjutnya

******************************************************

Mengenal Kepercayaan Masadé di Sangihe

Laporan Denni Pinontoan, dari Tahuna, Kepulauan Sangihe

Pemimpin adalah Kitab Hidup

sulutlink.com

Ketika kami memasuki di desa Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, Kab. Kepulauan Sangihe, sepintas tak ada yang lain di desa ini. Rumah-rumahnya, dinamika para penduduk, serta keadaan alam pegunungan Sangihe yang sama dengan beberapa desa lain di sekitarnya. Hari itu, Rabu (9/7). Waktu itu hari telah sore, kira-kira pukul 16.30 wita. Di atas sepeda motor yang dikendarai Mat Bahsoan, penggiat di Perkumpulan Kelola yang sedang menangani Program Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat di Kab. Sangihe, kami melihat penduduk di desa ini masih sibuk dengan pekerjaannya. Selanjutnya...


******************************************************

Menanti Janji Kaya di Masa Depan

Oleh Daniel A Kaligis

[www.kabarindonesia.com]

LETUP bom bunuh diri, kedasyatan yang mewakili irama kematian karena mesin pembasmi mencari mangsa mereka yang diincar keberingasan. Oh betapa secerca harapan dari puing-puing krisis berkepanjangan, yang menguatkan suara kelaparan dan kekurangan gizi di banyak lokasi, daya beli terpuruk, kekerasan dalam pemaksaan kehendak menumpukkan lebih banyak lagi persoalan sosial di muka bumi ini. Dana berbandrol miliaran terkucur untuk sedih yang tak berujung, tapi tangis tak berakhir, tawa mereka yang berpesta atas nama demokrasi sudah mencuatkan kegusaran yang tinggi di andrenalin ragu-ragu, sebab hukum terbeli bukan cuma perkara moral dan kebiasaan belaka. Tanyakan berapa banyak lagi pemekaran yang diumumkan untuk melaksanakan “panas” suara hati yang terbeli. Kita masih sok religius membisikan ketertindasan sistem, dan kenyataan derita selalu dipelintirkan show debat publik yang menggelitik ketersinggungan. Sumbu api ditarik dari kompor demokrasi berbingkai tirani. Ia sudah lama menyala, dan titiknya semakin memanas. Selanjutnya...

******************************************************


23 September 2008

Desa, Negara dan Partai Politik di Indonesia

Oleh Denni Pinontoan

Sungguh menarik ketika menyaksikan program siaran Debat Partai di TVOne (Kamis, 5 September) yang menghadirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Salah satu topik menarik yang didebatkan oleh dua partai itu melalui masing-masing juru bicara adalah soal eksistensi desa. Masing-masing pembicara berbicara seolah-olah paham benar tentang persoalan ribuan desa di Indonesia. Tapi, itu kan debat partai, jadi yang ditampilkan adalah retorika yang kosong dan justru berbahaya bagi sekitar 70 persen rakyat Indonesia yang hidup di pedesaan. Selanjutnya....

******************************************************

LARA:

Cerpen Daniel Kaligis

"Pergi....pergi...pergi..................

Pergilah Lara,

Air mata sudah kering, semata memandangi kisah tanah kita yang tergadai

Tabung bencimu di negeri seberang"...

Selanjutnya....

******************************************************

Sebuah Sikap Bagi Tangan Tengadah

Oleh: Daniel Kaligis

TELAPAK masih menadah. Ada juga tangan-tangan yang mengisyaratkan rela terus memberi. Pada sebuah pedoman yang terdiam jutaan ketika menyebut, “bila tangan kanan memberi, janganlah tangan kiri mengetahuinya”. Tetapi, pemberian yang selalu disebut-sebut sekarang ini adalah sesuatu yang dimaklumi dan supaya diketahui banyak manusia, apalagi ketika dipublikasikan media masssa. Dan memberi yang saat ini sudah membuka sejumlah keresahan, bahkan ada yang terkapar sebelum harapan terkabul. Selanjutnya...

******************************************************

5 September 2008


Negara Gagal


Oleh: Benni E. Matindas

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor. Selanjutnya...

******************************************************

Jangan Pilih Politisi Busuk!

Oleh Erny Jacob, SE

Meski Pemilu nanti akan diselenggarakan tahun depan, namun sejumlah tahapan pesta demokrasi itu telah dilaksanakan. Antaranya, pada tanggal 19 Agustus lalu, KPU dan KPUD di masing-masing daerah telah menerima nama-nama bakal calon anggota legislatif yang akan diusung oleh setiap Partai Politik untuk menjadi anggota legislatif. Ada yang menarik dalam proses pencalegkan sekarang, bahwa KPU memberikan kesempatan kepada publik untuk mengenal dan menilai bakal-bakal caleg yang didaftarkan Parpol sebelum ditetapkan di Daftar Caleg Tetap (DCT). Meski memang, kita belum tahu sejauh mana efektifitas cara ini untuk mendapatkan caleg yang pro rakyat dan bersih dari perilaku korup dan zinah. Tapi setidaknya, ini adalah pintu masuk bagi rakyat atau para pemilih untuk mengenal lebih jauh caleg yang akan dipilihnya nanti. Jangan salah pilih, sebab politisi busuk masih banyak yang berambisi untuk duduk lagi dikursi panas kantor dewan. Selanjutnya…

Rabu, 13 Agustus 2008

PEREMPUAN DAN KEKUASAAN

(Secuil Pemikiran Tentang Keterlibatan Perempuan Dalam Politik Praktis Indonesia)


Oleh Riane Elean


"Right to vote and right to be candidate". Siapapun warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil. Demikian antara lain sepenggal kalimat idealis yang turut memberi warna dunia politik dunia. Bagi Negara Republik Indonesia, idealisme yang menempatkan setiap warga negara dalam posisi yang sama dalam dunia politik, dinyatakan secara gamblang dalam UUD 1945 Pasal 28-D ayat (3): "Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". “setiap warga negara” berarti siapa saja, tanpa ada pembedaan, termasuk pembedaan jenis kelamin. Perempuan maupun laki-laki memiliki peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan wewenang atau otoritas dalam pemerintahan. Pertanyaan sekarang adalah: apakah idealisme yang tertuang dalam konstitusi itu mampu “mewajah” dalam praktek berpolitik masyarakat kita? Apakah laki-laki dan perempuan telah memperoleh porsi seimbang dalam “melakonkan” berbagai peran politik yang sementara dimainkan di negara ini? Mari kita lihat:
o Dalam sejarah politik Indonesia sejak pemilihan pertama tahun 1955. Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 persen perempuan di parlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 persen. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 persen. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 persen tahun 1992-1997, 10,8 persen menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 persen pada periode 1999-2004.
o Dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Dari 36 jabatan yang ada, perempuan hanya menduduki empat posisi, yakni Dr. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Marie Pangestu (Menteri Perdagangan), Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan), Siti Fadillah Supari (Menteri Kesehatan). Sisanya didominasi oleh kaum laki-laki.
o Di lembaga MPR, jumlah perempuan hanya 18 orang (9,2 persen), dan laki-laki 177 orang. Sedangkan di DPR ada 45 perempuan dan 455 laki-laki (9 persen), di lembaga MA hanya ada 7 perempuan dan 40 laki-laki (14,8 persen), di BPK sama sekali tidak ada perempuan dan laki-laki ada 7, di DPA hanya ada 2 perempuan sedang laki-laki ada 43 orang (4,4 persen), di lembaga KPU juga hanya 2 perempuan dan laki-laki 9 orang (18,1 persen).
o Di tingkat daerah. Tiga puluh gubernur yang ada di Indonesia saat ini di jabat oleh kaum laki-laki, sementara dari 336 Bupati yang ada di Indonesia, hanya lima di antara mereka atau 1,5 persen saja yang diduduki oleh perempuan.
Beberapa data di atas sungguh berbanding terbalik dengan hasil sensus penduduk terkini yang menunjukkan bahwa jumlah kaum perempuan di Indonesia lebih banyak dari kaum laki-laki, yakni 51 persen. Jika data-data di atas dipakai sebagai tolok ukur menilai seberapa besar keterlibatan perempuan dalam kancah politik praktis di Indonesia, barangkali dapat dengan mudah disimpulkan bahwa dari segi kuantitas, perempuan masih kalah dibanding laki-laki.

Mengapa keterlibatan perempuan dalam kancah politik praktis menarik untuk dipercakapkan panjang lebar? Mengapa keterlibatan perempuan dalam pemerintahan “ngotot” diperjuangkan oleh sejumlah pihak? Apakah ada korelasi antara angka keterwakilan perempuan dalam pemerintahan dengan kebijakan yang berpihak kepada perempuan? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, barangkali kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan orang berpolitik. Menurut para teoritisi, yang mendorong seseorang memainkan peran aktif dalam politik ialah karena ada dorongan kemanusiaan yang tidak dapat diabaikan, yakni untuk memperoleh kekuasaan. “Politik” menurut mereka merupakan permainan kekuasaan, termasuk siapa, kapan dan bagaimana mendapatkan kekuasaan itu. Dalam kaitan dengan hal tersebut, J. Leibu dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat” mengaitkan antara “kekuasaan” (power) dengan “kewenangan”(authority). Kekuasaan didefinisikannya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan pemikiran dan tingkah laku orang lain, sedangkan kewenangan adalah hak untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Pada prinsipnya, kekuasaan itu menunjuk pada potensi, sedangkan wewenang menunjuk pada hak. Dengan demikian, pengaruh kaum perempuan dalam mengendalikan situasi sosial, termasuk di dalamnya pengambilan kebijakan yang berpihak pada perempuan, sangat ditentukan oleh seberapa besar keterlibatan mereka pada posisi-posisi strategis pembuat kebijakan. Singkatnya, seberapa besar posisi tawar perempuan dalam sebuah sistem sosial tergantung pada seberapa besar pula kekuasaan yang dimilikinya untuk meyakinkan atau bahkan memaksa pihak lain melakukan sesuatu.

Pemaparan di atas memunculkan sebuah hipotesis bahwa rendahnya tingkat keterlibatan perempuan dalam lembaga publik tidak mungkin mewakili kepentingan-kepentingan perempuan yang diharapkan, karena jumlahnya yang berada dibawah Critical mass. Apakah hipotesis tersebut bisa diuji? Barangkali penelitian yang pernah dilakukan sebuah institut di negeri “Paman Sam” bisa merepresentasi hipotesis ini. Sebuah penelitian yang dilakukan Institute for Women’s Policy Research yang dilakukan di seluruh negara bagian yang ada di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di negara bagian yang mempunyai keterwakilan perempuan lebih tinggi memiliki kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan sumber daya dan hak-hak perempuan. Dengan demikian bisa jadi bahwa akan sangat sulit mendapatkan berbagai kebijakan yang memperjuangkan dan memproteksi hak-hak perempuan, seperti: perlindungan perempuan dari kekerasan, sampai pada perluasan akses terhadap ekonomi dan pendidikan, jika keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan tersebut kecil.

Masih adanya pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) di mana perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara wilayah publik dianggap tempatnya laki-laki, kebutuhan perempuan yang masih banyak ditentukan oleh laki-laki sebagai pihak yang mendominasi kekuasaan, merupakan dua hal yang dinilai beberapa pihak merupakan dampak dari pembagian kekuasaan yang belum berimbang. Akar dari kecenderungan ini entah karena sistem budaya masyarakat kita yang cenderung patriakal, sebagian besar perempuan masih dikungkung kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, ataukah karena keengganan perempuan itu sendiri untuk membangun kekuatan penyeimbang dengan cara terjun langsung ke dunia politik praktis. Untuk hal itu, penelitian yang lebih mendalam masih diperlukan. Namun satu hal yang pasti, porsi kekuasaan yang dimiliki akan sangat menentukan posisi dan kemudahan hidup perempuan di tengah masyarakat.

Jika kemudian telah muncul kesadaran bahwa porsi kekuasaan turut menentukan posisi tawar perempuan dalam suatu sistem sosial, pasti kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memperoleh kekuasaan itu. Kekayaan material, kedudukan, birokrasi, dan kemampuan khusus di bidang ilmu pengetahuan, secara sosiologis merupakan sumber kekuasaan. Namun, yang paling umum kekuasaan tertinggi berada pada negara. posisi tawar perempuan harus bisa merambah sampai pada ranah tersebut agar mampu mendapatkan posisi tawar yang kuat dan bisa menghasilkan pengaruh yang signifikan.

Ada beberapa hal yang barangkali bisa menjadi referensi bagi kaum perempuan untuk menancapkan pengaruhnya di tengah masyarakat. Pertama, perempuan harus bisa menunjukkan kelebihan dalam pengetahuan maupun kemampuan-kemampuan konstruktif lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana perempuan secara cerdik (bukan secara licik) memanfaatkan peluang sekecil apapun. Dengan demikian, luasnya wawasan yang diperoleh dari pendidikan secara formal maupun non-formal merupakan sebuah kemutlakan. Hal ini penting agar semua strategi yang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan maupun aplikasinya dalam wujud penentuan kebijakan, di dasarkan pada pertimbangan multi ilmu. Kedua, perempuan harus bisa menunjukkan sifat dan sikap yang diharapkan dan dapat dijadikan pedoman prilaku. Pada bagian inilah moral dan prinsip hidup turut menentukan kharisma sang perempuan. Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan dan bahkan barangkali merupakan faktor penentu berhasil tidaknya perempuan mendapatkan posisi strategis dalam masyarakat, yakni kemauan untuk tampil atau menjadi pemain aktif dalam politik praktis. Jangan hanya menjadi the mute voice dan sekedar penggembira dalam sistem sosial kita. Karena harapan tanpa usaha hanyalah akan menghasilkan mimpi belaka.

Selain hal-hal di atas, apakah ada hal lain lagi yang perlu dibahas terkait dengan topik “perempuan dan kekuasaan”? Tentu masih ada, bahkan masih sangat banyak lagi. Namun cukup secuil inilah dulu -dari bahan yang panjang lebar itu- untuk bagian ini. Untuk perempuan, selamat berpolitik! Mudah-mudahan yang secuil ini bisa berarti.

Penulis, alumni Fakultas Teologi UKIT,
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Unsrat
(Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pembangunan)Akhir Agustus 2008

0 komentar: