Artikel-artikel Terbaru

Neoliberalisme dan Gerakan Kultural Tou Minahasa


Oleh: Denni Pinontoan


Wajah Lain Kolonialisme dan Imprealisme dalam Neoliberalisme

Awal dari kolonialisme Bangsa Barat (Spanyol, Portugis, dan menyusul Inggris serta Belanda) terjadi sekitar akhir abad 15, yaitu antara lain ditandai dengan ditemukannya benua Amerika oleh Colombus. Kolonialisme kemudian semakin gencar dilakukan bangsa Barat kira-kira mulai awal abad 16. Sejak itu perlahan tapi pasti dunia mulai berporos pada satu peradaban, yaitu Bunia Barat. Sementara Dunia Timur dianggap kafir, bodoh dan terkebelakang. Padahal, di dunia Timur ini jauh sebelum kelahiran peradaban Barat itu, telah lebih dulu lahir beragam kebudayaan dan agama, misalnya Hindu dan Budha di India dan Tao dan Kong Hu Cu di Cina. Kelahiran agama-agama itu sekaligus juga menandai adanya peradaban maju di Dunia Timur sejak berapa abad SM. Di Dunia Timur inilah terdapat beragam sumber daya alam yang kemudian diincar oleh bangsa Barat. Selanjutnya…

=======================================

GOLPUT: Gerakan Kritik terhadap Orientasi Politik Elit Kita

Oleh Denni Pinontoan

29-Jan-2009, 15:03:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Ternyata yang paling gerah dengan fenomena Golongan Putih (Golput) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Betapa tidak, organisasi keagamaan Islam ini, bahkan sampai mengeluarkan fatwa haram bagi umatnya yang menjadi Golput. Aneh, sebab kenapa hak memilih untuk memilih atau tidak memilih digeser ke wilayah sorga dan neraka, atau tidak berdosa dan berdosa? Tapi, tulisan ini tidak bermaksud mengulas fatwa MUI itu, melainkan berusaha fokus pada fenomena Golput dalam Pemilu di Indonesia, yang terlanjur dikontroversikan. Selanjutnya…

=======================================

Bicara-bicara Tentang Caleg

Om Alo:

Ben, sekarang kata pilih caleg musti lia depe kualitas kang?

Om Beno:

Lantaran berdasarkan suara terbanyak?

Om Alo:

Dorang bilang bagitu.

Tanta Nece:

Tu ja bilang kualitas caleg bagini so?

Om Alo:

Kita lei nda tau no. Soalnya samua tu baliho-baliho caleg punya, ja bilang-bilang tu bagus.

Om Beno:

Iyo stou, depe kualitas doi no. Bagus nyanda depe banyak.

Tanta Nece:

Oh, jadi sbantar torang pe pemilu sama deng blante sapi dang?

Om Beno:

So bagitu stou..

Om Alo:

Kalu bagitu kita musti pilih partai yang ada gambar sama deng sapi dang?

Om Beno:

Kalu kita kwa mo pilih jo yang ada gambar sama deng pohong.

Tanta Nece:

Kita woon mo pilih parangpuang pe partai. Mar, nda ada kwa no. KPU nda kase lolos stou, lantaran depe lambang kata kwa dorang pe rencana parangpuan punya.

Om Alo:

^$#***!



Om Beno:

Oh, bagus itu.....

******************************************************

Dilema Sistem Suara Terbanyak dalam Pemilu 2009


Oleh : Denni Pinontoan


[www.kabarindonesia.com]

Akhir Desember 2008 lalu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menerapkan pola suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih di Pemilu 2009. Dengan demikian sekarang memilih caleg tidak lagi ditentukan oleh nomor urut, tapi suara terbanyak. Maka terkejutlah caleg-caleg yang waktu lalu berebutan nomor urut. Bahkan ramai terdengar banyak caleg yang telah membayar pimpinan partai untuk berebutan nomor urut jadi. Bukan hanya bagi partai lama, tapi partai baru juga terdengar marak praktek jual beli nomor urut. Mereka yang terlanjur membeli nomor urut kini gigit jari. Selanjutnya…

******************************************************

”Mesias Lahir di Pinabetengan”

(Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer)

Oleh Denni Pinontoan

Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks. Selanjutnya...

******************************************************

Menggagas Gerakan Kultural Orang Muda Minahasa:

Sebuah Usaha Melanjutkan Pemikiran Sam Ratu Langie

Oleh: Denni Pinontoan

(Disampaikan pada diskusi terbuka bertajuk “Sam Ratu Langie, Siapa yang Melanjutkan?” yang diselenggarakan oleh Gerakan Minahasa Muda (GMM), Selasa, 11 November 2006 di Hotel Tou Dano, Tondano - Minahasa)

Sejumlah pertanyaan tentang eksistensi Orang Muda Minahasa dan manusia Minahasa pada umumnya dalam pergaulan nasional, baik soal gerakan dan pemikirannya beberapa waktu terakhir ini kembali mengemuka. Pertanyaan ini bukan tanpa alasan yang rasional. Sebab, sebagai sebuah bangsa yang terkenal cerdas dan berani, tentu ketika suara-suara dari Minahasa hampir tidak lagi terdengar di level nasional bahkan internasional, maka ini tentu memunculkan pertanyaan. Soal siapa bangsa Minahasa tempo dulu, seorang jurnalis sekaliber Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, memuji Minahasa dengan berkata, ”Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.” Selanjutnya

******************************************************

Pembaruan Gerakan dan Pemikiran Kaum Muda:

Sebuah Harmonisasi Perbedaan Demi Kebenaran dan Kehidupan


Oleh: Denni Pinontoan

Ruang politik, social dan ekonomi kita yang besar adalah Negara Indonesia. Pada ruang yang lebih kecil, kita ada di daerah Sulut ini. Tapi, lebih kecil dari itu, tapi memiliki daya gerak yang besar, adalah komunitas kita sendiri yang meski berbeda-beda ideology, tapi dalam pemikiran dan gerakan ternyata bertemu dalam keprihatinan yang sama terhadap penderitaan rakyat. Selanjutnya

******************************************************

Mengenal Kepercayaan Masadé di Sangihe

Laporan Denni Pinontoan, dari Tahuna, Kepulauan Sangihe

Pemimpin adalah Kitab Hidup

sulutlink.com

Ketika kami memasuki di desa Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, Kab. Kepulauan Sangihe, sepintas tak ada yang lain di desa ini. Rumah-rumahnya, dinamika para penduduk, serta keadaan alam pegunungan Sangihe yang sama dengan beberapa desa lain di sekitarnya. Hari itu, Rabu (9/7). Waktu itu hari telah sore, kira-kira pukul 16.30 wita. Di atas sepeda motor yang dikendarai Mat Bahsoan, penggiat di Perkumpulan Kelola yang sedang menangani Program Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat di Kab. Sangihe, kami melihat penduduk di desa ini masih sibuk dengan pekerjaannya. Selanjutnya...


******************************************************

Menanti Janji Kaya di Masa Depan

Oleh Daniel A Kaligis

[www.kabarindonesia.com]

LETUP bom bunuh diri, kedasyatan yang mewakili irama kematian karena mesin pembasmi mencari mangsa mereka yang diincar keberingasan. Oh betapa secerca harapan dari puing-puing krisis berkepanjangan, yang menguatkan suara kelaparan dan kekurangan gizi di banyak lokasi, daya beli terpuruk, kekerasan dalam pemaksaan kehendak menumpukkan lebih banyak lagi persoalan sosial di muka bumi ini. Dana berbandrol miliaran terkucur untuk sedih yang tak berujung, tapi tangis tak berakhir, tawa mereka yang berpesta atas nama demokrasi sudah mencuatkan kegusaran yang tinggi di andrenalin ragu-ragu, sebab hukum terbeli bukan cuma perkara moral dan kebiasaan belaka. Tanyakan berapa banyak lagi pemekaran yang diumumkan untuk melaksanakan “panas” suara hati yang terbeli. Kita masih sok religius membisikan ketertindasan sistem, dan kenyataan derita selalu dipelintirkan show debat publik yang menggelitik ketersinggungan. Sumbu api ditarik dari kompor demokrasi berbingkai tirani. Ia sudah lama menyala, dan titiknya semakin memanas. Selanjutnya...

******************************************************


23 September 2008

Desa, Negara dan Partai Politik di Indonesia

Oleh Denni Pinontoan

Sungguh menarik ketika menyaksikan program siaran Debat Partai di TVOne (Kamis, 5 September) yang menghadirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Salah satu topik menarik yang didebatkan oleh dua partai itu melalui masing-masing juru bicara adalah soal eksistensi desa. Masing-masing pembicara berbicara seolah-olah paham benar tentang persoalan ribuan desa di Indonesia. Tapi, itu kan debat partai, jadi yang ditampilkan adalah retorika yang kosong dan justru berbahaya bagi sekitar 70 persen rakyat Indonesia yang hidup di pedesaan. Selanjutnya....

******************************************************

LARA:

Cerpen Daniel Kaligis

"Pergi....pergi...pergi..................

Pergilah Lara,

Air mata sudah kering, semata memandangi kisah tanah kita yang tergadai

Tabung bencimu di negeri seberang"...

Selanjutnya....

******************************************************

Sebuah Sikap Bagi Tangan Tengadah

Oleh: Daniel Kaligis

TELAPAK masih menadah. Ada juga tangan-tangan yang mengisyaratkan rela terus memberi. Pada sebuah pedoman yang terdiam jutaan ketika menyebut, “bila tangan kanan memberi, janganlah tangan kiri mengetahuinya”. Tetapi, pemberian yang selalu disebut-sebut sekarang ini adalah sesuatu yang dimaklumi dan supaya diketahui banyak manusia, apalagi ketika dipublikasikan media masssa. Dan memberi yang saat ini sudah membuka sejumlah keresahan, bahkan ada yang terkapar sebelum harapan terkabul. Selanjutnya...

******************************************************

5 September 2008


Negara Gagal


Oleh: Benni E. Matindas

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor. Selanjutnya...

******************************************************

Jangan Pilih Politisi Busuk!

Oleh Erny Jacob, SE

Meski Pemilu nanti akan diselenggarakan tahun depan, namun sejumlah tahapan pesta demokrasi itu telah dilaksanakan. Antaranya, pada tanggal 19 Agustus lalu, KPU dan KPUD di masing-masing daerah telah menerima nama-nama bakal calon anggota legislatif yang akan diusung oleh setiap Partai Politik untuk menjadi anggota legislatif. Ada yang menarik dalam proses pencalegkan sekarang, bahwa KPU memberikan kesempatan kepada publik untuk mengenal dan menilai bakal-bakal caleg yang didaftarkan Parpol sebelum ditetapkan di Daftar Caleg Tetap (DCT). Meski memang, kita belum tahu sejauh mana efektifitas cara ini untuk mendapatkan caleg yang pro rakyat dan bersih dari perilaku korup dan zinah. Tapi setidaknya, ini adalah pintu masuk bagi rakyat atau para pemilih untuk mengenal lebih jauh caleg yang akan dipilihnya nanti. Jangan salah pilih, sebab politisi busuk masih banyak yang berambisi untuk duduk lagi dikursi panas kantor dewan. Selanjutnya…

Kamis, 14 Agustus 2008

"Kembali ke Manusia dan Budaya: Tawaran Solusi Untuk Deklinasi Pendidikan di Minahasa"

Oleh Greenhill Weol


Man vs. Machine

Rusuh hasil Ujian Nasional komputerisasi itu masih belum pudar dari ingatan. Di berbagai daerah penolakan-penolakan malah telah memicu beberapa tindak vandalisme, baik dari siswa yang merasa dirugikan atau pihak keluarganya, yang telah cukup meresahkan masyarakat hingga jatuh korban. Pro-kon yang terjadi kemudian adalah tentang perlu-tidaknya Ujian Nasional atau tentang etis-tidaknya penggunaan komputer sebagai mesin pemeriksa serta pengelola hasil ujian. Lalu, saya adalah termasuk yang tidak setuju.

Ada yang berargumen bahwa menyerahkan nasib seorang peserta didik, yang adalah manusia selengkap-lengkapnya ini, di tangan sekumpulan kabel, timah dan arus listrik yang disebut komputer itu adalah sebuah tindakan yang terlalu naif. Saya setuju itu. Memang, jika dikatakan bahwa komputer memiliki daya analitik yang begitu stabil, cepat, tepat dan akurat itu benar. Saya pun tidak akan membantah jika dikatakan bahwa komputer punya error margin yang sangat kecil. Tetapi, seorang Bill Gates pun mau tak mau harus mengamini ini, komputer bukanlah periferal yang error-free. Saya punya komputer dengan spek yang cukup advance. Dengan komputer ini saya dapat melakukan apa saja, begitu lebih-kurangnya, yang membuat saya sangat bersyukur bisa lahir di abad Microsoft ini. Informasi yang bisa saya kelola keluar-masuk bisa sangat banyak dan memang hasilnya hampir tak pernah cacat. Hampir.

Tahun di belakang saya kelimpungan mencari obat untuk virus karya anak bangsa yang namanya Brontok. Padahal, saya punya perlindungan antivirus yang ternyata Cuma mempan menangkal virus-virus import. Dapat memang, setelah menunggu enam bulan. Tetapi kemudian ada mampir juga varian Brontok A, Brontok B, Brontok MyBro, Brontok Laknats, Brontok Sensasi, dst., dst. yang daftarnya bisa sepanjang menu di restoran. Sudahlah membahas dari mana dan bagai mana penyakit-penyakit itu, yang jelas komputer saya berantakan. Segalanya yang stabil, cepat, tepat dan akurat itu lenyap sudah. Tersisalah sebuah mesin yang berpikir dan bertindak laksana seorang skizo. Dan, sekedar informasi, di dunia saat ini ada setidaknya 2 juta virus komputer yang siap melumpuhkan, atau setidaknya mengacaukan mesin ini. Jadi, sekali lagi, rasanya terlalu naif untuk percaya sepenuhnya pada sekumpulan besi tak berperasaan ini. Kalau begitu kepada siapa tanggung jawab akan keberhasilan anak-anak kita?

Guru. Ya, orang yang setiap hari berinteraksi dengan sang murid. Orang yang mengamati tiap usaha, tiap kegagalan dan tiap keberhasilan yang dialami sang murid hari demi hari sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di halaman sekolah sampai di hari ujian akhirnya. Orang yang mengajar, mendidik dan membina sang murid dengan intelektualitas, totalitas, dan diatas semuanya: perasaan dan kasih sayang. Demi Tuhan! Tak ada penilaian yang lebih sahih dari penilaian seorang guru. Jika kemudian yang dipertanyakan adalah objektivitas, bahwa dari komputer didapatkan hasil yang lebih fair dan objektif tanpa beban dan muatan, tanpa memandang bulu, dan tanpa memandang resiko, maka saya akan menyarankan agar di meja hijau pengadilan juga, ketimbang memakai hakim yang malah rawan suap itu, lebih baik ditempatkan seperangkat komputer (yang bebas virus tentunya), bukan begitu? Lantas, bagaimana menemukan guru yang kapabel untuk melakukan semua hal-hal ideal diatas? Pada poin ini saya sebenarnya lebih percaya a good teacher is born, not made. Tetapi, saya juga percaya good things come to those who work, not only wait.


Mencetak Guru: Creating The Man of Steel?

Minahasa Masih Kekurangan Ribuan Guru, begitu sebuah tajuk berita di halaman pendidikan sebuah surat kabar lokal. Di halaman hiburan ada berita tentang preview film Superman Returns. Saya tersenyum. Dua hal yang berbeda tapi persis sama. Mengapa? Karena menurut saya menciptakan guru yang berkemampuan ibarat menciptakan seorang manusia super.

Pada penerimaan CPNS baru lalu, ada porsi yang cukup signifikan yang khusus direservasi untuk guru, dan fakta selalu berkata bahwa setiap penerimaan pegawai negeri pasti sold out layaknya tayang perdana sebuah film blockbuster Holywood sekelas, ya itu tadi, Superman Returns. Semua orang ingin nonton. Semua orang ingin jadi PNS (sejujurnya, termasuk saya). Seorang teman yang bermodalkan ijazah S1 dan sedikit faktor luck (ia mujur punya saudara “tempat tinggi”, begitu maksud saya) tahun ini akhirnya berhasil menerima jaminan gaji plus pension seumur hidup. Saya sedikit bagara: “jadi guru dang, eee!” Dia menjawab dengan kalem: “sala sala no, tumbus di situ”. Dua puluh lima tahun lalu ibu saya juga mulai mengenakkan seragam KORPRI dan PGRI-nya. Katanya, pada masa itu guru (juga) dibutuhkan dalam jumlah besar, sehingga jika ingin pekerjaan yang paling tersedia ya itu, jadi guru. Saya anak yang berbakti, saya menganggap ibu saya termasuk tipe guru yang luar biasa, tetapi something is really wrong in here. Kelihatannya, dalam kurun puluhan tahun terakhir, lebih banyak guru yang tercipta dari demand untuk mengisi ruang lowong ketimbang dari pure calling untuk menjadi guru.

Saya senang menulis, saya menulis karena saya senang dan saya menulis karena itu membuat saya senang. Saya bisa duduk menulis bejam-jam hingga lupa apa pun (kecuali makan). Saya tidak berkata bahwa saya tidak dapat hidup tanpa menulis, tetapi saya merasa tanpa menulis saya tidak menjadi seseorang yang saya inginkan. Saya merasa bahwa tanpa menulis saya tidak memberikan apa yang saya mampu berikan untuk orang lain. Bagi saya menulis itu panggilan, bukan pekerjaan (di Manado jadi penulis memang belum bisa menghidupi!). Lalu saya berpikir: bukankah jadi guru juga seharusnya begitu? Lalu, apakah ini doable? Saya bertanya kepada ibu saya, berdasar pengalamannya di dunia pendidikan, apakah ini bisa diujudkan, dan dia menjawab: “ngana cari pa mner Hengky Rondonuwu. So dia tu guru yang butul-butul guru”.

Culture-Conscious Education

Orangnya sederhana tetapi classy. Usianya senja, namun pemikirannya masih cukup tajam, radikal dan, terlebih, visioner, khas pemikir Minahasa. Saya beruntung dapat bersua dengannya pada sela riuh-rendah Pengucapan Syukur di Wuwuk, Tareran, Minahasa Selatan yang baru lewat. Kami duduk-duduk di fores rumah dan dia mulai bercerita. Beliau sekarang sudah pensiun dari mengajar di ruang kelas, namun ternyata, layak iklan susu buat orang lanjut usia itu, masih seorang guru yang penuh dedikasi. Buktinya, saya “dikuliahi” lima jam non-stop dimulai dari statement “kita kalo maso klas mo mengajar, nyanda pernah bawa buku”.

Menurutnya, seorang guru adalah pengajar, pendidik dan pelatih bagi setiap murid. Ini bukan idealnya. Ini hakikatnya. Mengajar baginya berarti membuat murid menjadi tau apa yang sebelumnya mereka tidak tau. Mendidik adalah membuat murid mengerti apa yang tidak dimengerti. Melatih adalah membuat murid mampu melakukan yang sebelumnya tidak bisa mereka lakukan. Ketiganya adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan seutuhnya. “Yang terjadi sekarang adalah banyak guru yang tidak mampu mensinergikan ketiga hal ini. Bahkan, lebih banyak lagi yang tidak tahu akan ketiga dalil ini”, dengusnya. Maka output yang dihasilkan adalah pribadi-pribadi yang tidak lengkap pula, simpulnya. “Pola pendidikan yang paling sempurna, padahal, telah dimiliki dan diterapkan oleh kita, bangsa Minahasa, sejak dahulu kala”.

Falsafah “Touna’as” yang menempel dalam ruang hidup budaya Minahasa, menurutnya, adalah solusi yang paling menjawab bagi permasalahan penurunan mutu pendidikan di tanah ini. Touna’as, yang kemudian saya definisikan sebagai seorang yang memiliki “pengetahuan” ini, adalah sebuah taraf tertinggi penghargaan terhadap person-person yang dinilai outstanding dalam sendi-sendi peri kehidupan masyarakatnya. Adapun “pengetahuan” yang dikandung oleh seorang touna’as adalah perpaduan antara penguasaan akan keterampilan olah fisik, penguasaan pengetahuan kekuatan-kekuatan alam (yang saat ini harus saya kontekstualkan sebagai penguasaan akan science dan teknologi), dan kemudian pengertian mahaluas akan kehidupan, yang mungkin lebih akrab disebut sebagai kebijaksanaan. Niscaya, seseorang dengan kombinasi unsur-unsur ini akan memiliki sebuah “kekuatan” yang luar biasa. Jadi, ternyata, analogi “Knowledge is Power” bukan sesuatu yang baru lagi bagi leluhur kita. “Begitu seharusnya orang Minahasa dididik dan mendidik!”, tandas mner Hengky. Kesalahan terbesar terjadi ketika kita kemudian menerima pola didik yang tidak kompatibel. “Minahasa seharusnya tidak mengimplementasikan falsafah ‘tut wuri handayani’ dalam pendidikan di daerah ini, sekalipun itu mungkin yang menjadi falsafah pendidikan nasional Indonesia, sebab sama sekali tidak sesuai dengan tata kehidupan dan budaya Bangsa Minahasa. Ini kesalahan fatal!”, semburnya. “Cara Jawa mungkin akan berhasil di masyarakat yang menganut sistem masyarakat multi-level, tetapi, maaf saja, tidak akan sukses diberlakukan di masyarakat Minahasa yang horizontal. Jadi, sudah saatnya dunia pendidikan di desentralisasi juga. Let us do things our way!”. Masuk akal, kan?

Tak terasa malam telah beranjak tua. Angin dari bukit Tareran berhembus dingin. Kelas larut malam ini harus ditutup. Sang Guru tua ini meneguk sloki sopinya yang terakhir seraya pamit pulang...

Seni Untuk Publik

Oleh : Andre GB

Dunia saat ini adalah kapitalisme, tak terkecuali Indonesia. Telah banyak ekonom - ekonom kritis yang dengan sadar memberi nama baru untuk sistem ini dengan melihat perkembangannya yang semakin gila di akhir abad 20 : neoliberalisme. Dari sudut pandang ekonomi politik, kapitalisme dapat diartikan tentang bagaimana suatu aspek kehidupan, yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang, menjadi milik segelintir orang yang beruntung (secara ekonomi). Dan kerja – kerja kesenian, semacam lukisan-lukisan, buku – buku puisi, kerajinan tangan ataupun ukir-ukiran, lagu - lagu dan sebagainya, bukanlah pengecualian dari hukum umum ini.

Dewasa ini, kondisi tersebut bagaimanapun telah menjadi suatu realitas di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana lukisan-lukisan indah, patung-patung berestetika tinggi, sampai ke kerajinan-kerajinan tangan bermutu dipajang dan dijual dengan harga sangat tinggi di galeri-galeri bonafit. Dalam ingatan waraga Sulut, khususnya di kota Manado tentu masih ingat tragedi terjualnya lukisan Sonny Lengkong ketika pameran tunggalnya diadakan di salah satu hotel mewah di kota Manado mencapai total lebih dari Rp 300 juta beberapa waktu silam ? Tentu saja akhirnya, para penikmat seni yang datang ke galeri ataupun pameran pun relatif mapan secara ekonomi. Tak jarang sebuah karya seni mahal tersebut setelah laku terjual, dibawa pulang ke rumah, diletakkan dalam satu ruangan khusus yang hanya bisa diakses segelintir orang, atau untuk dinikmati oleh pribadi ataupun keluarganya. Sebuah karya seni telah kehilangan sifat publiknya.

Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kesenian termasuk menikmati karya seni. Karya seni telah semakin nyata teralienasi dari manusianya seiring berjangkitnya neoliberal sebagai perkembangan tertinggi kapitalisme dunia. Sepertinya, tangan manusia semakin kurang panjang agar mampu menggapai karya – karya seni tersebut. Yang ironisnya justru lahir dari bekal pengalaman yang kemudian lahir dan menemukan medianya dalam bentuk karya seni.

Namun setiap thesis tentu memiliki anti-thesis. Realitas kesenian di bawah imperum kapitalisme pasti memiliki kontradiksi internal dalam dirinya. Untuk dapat membongkarnya, pertama-tama kita harus mengetahui dengan benar bagaimana wujud kerja kapitalisme dalam kesenian.

MISTIFIKASI SENI

Secara teori, perpusatakaan, museum maupun galeri dimaksudkan untuk menjamin akses publik terhadap kesenian, menyediakan ruang tertentu agar nyaman dalam menikmatinya, dan memang sukses tetapi dalam derajat tertentu. Meskipun demikian, masih banyak apresian seni, terutama yang berkemampuan ekonomi lemah, telah terlanjur membenarkan dalam pikirnya bahwa tempat – tempat semacam itu tidaklah mungkin dibuat untuk kalangan mereka. Suasana khidmat perpustakaan besar, museum dan galeri membuat mereka seperti terintimidasi. Sebagaimana kenyataan sekarang bahwa tempat – tempat itu memang “ada” untuk kaum menengah maupun kelas atas. Dan sungguh sebuah kesialan yang sangat tepat untuk watak masyarakat kita yang masih kurang percaya diri dalam mengapresiasi maupun untuk menghasilkan karya seni itu sendiri.

Seorang teoritikus seni terkenal, John Berger, menggambarkan proses yang sedang berlangsung ini sebagai sebuah bagian utuh dari kecenderungan umum mistifikasi terhadap kesenian di dalam dunia kapitalisme. Seorang Pierre Bourdieu, ahli sosiologi Perancis, melakukan obsevasi yang mirip seperti diatas. Penelitian itu mengantarkannya pada sebuah fakta bahwa terdapat perbedaan cara pandang terhadap kesenian untuk maing – masing kelas sosial yang berbeda tingkatannya. Secara hegemonis maupun ekonomis, kelompok masyarakat kelas bawah akan dipaksa untuk terus menganggap bahwa karya-karya seni yang tengah dipajang di galeri-galeri adalah suatu hal yang sakral (bukan untuk kalangan mereka) dan tidak terjangkau.

Langkah kedua adalah tentang bagaimana upaya sistematis dari kapitalisme untuk terus mencegah akses manusia secara luas terhadap kesenian adalah dengan menjadikan karya seni sebagai komoditi mewah untuk diperjual belikan di pasar dengan harga yang sangat mahal.

Seniman-seniman profesional didorong untuk tunduk dan membebek pada pola pasar agar bisa terus bertahan hidup. Sedang sekelompok kecil individu – individu yang kaya raya memiliki dan menguasai karya – karya seni yang mashyur dan mahal. Tak luput untuk ketinggalan, institut - institut kesenian, sebagai alat ideologi formal penghasil seniman – seniman, secara seragam mengajarkan kepada semua anak didiknya bagaimana berkesenian agar mampu terjual dengan harga tinggi nantinya. Dan secara tak sadar, akhirnya mereka melakukan kerja kesenian dengan tidak menggunakan sense, melainkan logika pasar. Sayangnya logika tersebut pada perjalanannya, semenjak lahirnya di abad 18, tak pernah seiring dengan logika mayoritas rakyat.

SENI LANGSUNG TURUN KE JALAN

Lalu bagaimana cara untuk melawan arus kapitalisme dalam seni ? Salah satu carayang bisa dicoba adalah dengan mengeluarkan seni dari perpustakaan elit, museum ataupun galeri ke jalanan. Biarkan seluruh apresian seni yang adalah rakyat, dari tua muda, kaya maupun miskin, mampu menikmatinya. Galeri – galeri mewah itu terlalu sakral untuk masyarakat kita yang mayoritas adalah kaum miskin. Setidaknya meletakkan kesenian di jalanan akan menghancurkan elitisme dari galeri - galeri, museum – museum, maupun perpusatakaan elit, sekaligus untuk mendapatkan kembali ruang publik dan menghambat upaya - upaya pengkomoditian kesenian.


Hal ini contohnya telah banyak dilakukan oleh seniman-seniman muda di Sulawesi Utara. Di bidang seni pertunjukan, pentas teater jalanan yang diadakan oleh Teater Kronis Manado selama rentang tahun 1997 sampai 2004, Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut sepanjang 2001 sampai 2005, lalu dilanjutkan Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado selama rentang tahun 2005 - 2007, adalah anti thesis terhadap pertunjukan – pertunjukan teater yang digagas oleh lembaga – lembaga pemerintah (penguasa) seperti Persatuan Artis Teater Sulut (PATSU) ataupun Dewan Kesenian Sulawesi Utara, yang hanya terus sembunyi di gedung – gedung mewah, sibuk dengan lomba – lomba yang lebih berorientasi pada kalah menang dan perebutan uang hadiah.

Di bidang seni rupa, bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh seniman Arie Tulus bersama Mawale Art Comunity pada tanggal 7 April 2007 bersamaan dengan pentas dan musikalisasi puisi, ia memamerkan lukisan – lukisannya di ruang terbuka dan secara langsung menjemput apresiasi publik. Mendorong terciptanya iklim apresiasi seni yang kondusif yang dengan serta merta dapat menjawab kebutuhan para seniman tentang isi perutnya.

Di bidang sastra, penerbitan buku – buku puisi karya penyair lokal secara underground dan peluncurannya yang justru hanya di laksanakan di sekretariat – sekretariat komunitas ataupun kelompok seni, atau kedai kecil di fakultas Sastra UNSRAT. Sebuah ruang yang terbuka akan akses para apresian, tanpa harus menemukan kesulitan yang berarti. Buku – buku yang juga dicetak dan di publikasikan secara underground menjadi tamparan telak bagi banyak seniman mapan yang ingin karya – karyanya diterbitkan oleh penerbit besar dan akhirnya secara sadar menjebakkan diri dalam budaya mengemis. Dan ketika biaya menjadi hambatan, proses kreatifpun seringkali mandek atau bahkan berhenti sama sekali.

Di bidang seni musik, apa yang dilakukan oleh musisi Witho Bangsat Abadi (yang populer lewat hitsnya Maitua & Aku Bukan Dispenser) mungkin bisa dijadikan bukti nyata betapa untuk menghasilkan seni yang kerakyatan dan anti hegemoni dan privatisasi adalah mungkin. Lagu – lagu ciptaannya yang kemudian populer di chart indie beberapa radio lokal seperti Radio Suara Minahasa (93.3 FM) dan SIP FM tidaklah direkam di studio mewah yang penuh peralatan mahal. Namun hanya berbekal kemampuan memanfaatkan teknologi lalu mempublikasikannya lewat jaringan seni yang dipunyai (ingat, bahwa pacar, teman, ataupun keluarga termasuk jaringan seni kita yang paling dekat), Witho BA memberi bukti eksistensi musik indie di tengah gempuran major label yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan. Dan tentu saja ada garansi akan kualitas karya musik tersebut.

Tentu saja, hanya dengan adanya kesenian di jalan tidak secara otomatis menjadikan kesenian tersebut kerakyatan dan menghasilkan iklim apresiasi yang positif. Kita pasti ingat, bahwa para penguasa di negeri manapun selalu membangun patung-patung atau monumen – monumen mengenai diri atau kekuasaan mereka untuk ditampilkan di tempat – tempat publik. Tujuan bangunan – bangunan tersebut adalah untuk mengintimidasi rakyat dan membuat agar kita terus menganggap bahwa kekuasaan mereka yang otoriter itu adalah hal yang alami. Tak perlu mengambil contoh jauh – jauh, para penguasa kerajaan - kerajaan di Nusantara pun tidak lupa melakukannya. Berbagai prasasti, patung-patung dan artefak lainnya peninggalan zaman mereka telah menunjukkan kecenderungan itu. Terlepas bahwa apa yang dihasilkan juga merupakan sebuah hasil dari tingkat kesenian pada saat itu.

Tapi konsep kesenian model penguasa yang saat ini dipraktekkan pada rakyat akan sangat jauh berbeda dari kesenian jalanan yang sejati. Mereka (karya – karya seni penguasa) hanyalah merupakan alat agitasi dan propaganda penguasa pada rakyatnya demi langgengnya kekuasaan. Kesenian jalanan yang kerakyatan menunjukkan suatu potensi bagi sebuah dunia di mana kesenian adalah bagian integral dari hidup kita. Sebuah perayaan atas kretivitas kita dan kekayaan atas imajinasi kita. Program – program kesenian yang bersifat massal (misal : program sejuta mural untuk rakyat) di seluruh kota haruslah menjadi prioritas pertama untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni. Sehingga nantinya, masyarakat kita yang mengerti akan estetika dari sebuah karya seni bukan hanya sekedar mimpi.

Pilih yang Mana?

Oleh Denni Pinontoan

Di penjara Karlau, dekat Graz, Austria, seorang napi, namanya Muradif Hasanbegovic, berhasil lari lolos dari penjara. Pria berusia 36 tahun ini, ternyata berusaha memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk lolos dari hukuman penjara. Terpidana 7 tahun penjara atas kasus perampokan itu membungkus dirinya sendiri dalam parsel besar supaya bisa keluar dari penjara! Waw, ini yang namanya, tiada rotan akar pun jadi.

Akal cerdik Muradif bisa terlaksana karena di penjara itu, tahanan tersebut bekerja sebagai pembantu pengepakan dan pengiriman barang. Ia membungkus dirinya sendiri dalam parsel berukuran besar. Tahanan lainnya yang tidak mencurigai apa pun, kemudian memasukkan paket itu ke atas truk. Begitu mobil pergi meninggalkan penjara, Muradif keluar dari parsel dan langsung melompat turun dari bagian belakang truk. Pria itu pun kabur. Petugas akhirnya dibuat terkecok. Karena, sampai situs detikcom memberitakan Muradif belum bisa ditangkap petugas. Ini baru bilang, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Muradif berbeda dengan Michael Johnson, napi yang dihukum mati di penjara Texas . Johson tidak tewas karena kena tembak oleh petugas setelah ia ketahuan berusaha kabur atau ekkseusi matinya dipercepat. Ia mati karena bunuh diri. Johnson ditemukan tewas bersimbah darah pada Kamis 19 Oktober 2006 pukul 14.45 waktu setempat.

Padahal, tanpa bunuh diripun Johson tetap akan mati, sebab ia direncanakan akan dieksekusi sekitar empat jam dari waktu bunuh dirinya itu, yaitu pukul 18.00 di hari yang sama. Sebelum bunuh diri, terpidana mati itu meninggalkan pesan yang ditulis dengan darahnya sendiri. Pesanya, "Saya tidak melakukannya.

Dan¦kedua pria ini berbeda dengan Mantan Diktator Cile Jenderal Augusto Pinochet. Baru-baru ini, sebelum ia wafat, untuk pertama kalinya ia mengambil tanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan semasa pemerintahannya 1973-1990. Di rentang waktu itu Pinochet menjadi pemimpin yang buas dengan melakukan ribuan pembunuhan politik dan dianggap bertanggung jawab atas penyiksaan dan pemenjaraan tidak sah.

Menurut sebuah laporan resmi, sejumlah 3.197 orang tewas karena alasan politis di bawah Pinochet, termasuk lebih dari 1.000 orang yang dibuat menghilang. Ribuan lainnya dipenjara secara tidak sah, disiksa atau dipaksa hidup di pengasingan.

Tapi, tiga laki-laki ini mewakili kebanyakan manusia penghuni planet ini dalam menghadapi persoalan yang pelik. Ada yang lari dari persoalan, ada yang kalah, sementara yang lainnya justru melawan persoalan itu. Kita pilih yang mana?

Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa idealis di tahun 60 yang ikut menumbangkan kekuasan Orde Lama pernah bertanya dalam dirinya soal bagaimana ia menghadapi masa depannya. Dalam catatan hariannya tertulis tanggal 26 Oktober 1968, ia berkata, "Saya tak tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa lalu mencoba menteror dunia? Atau sebagai orang yang gagal tetapi dengan penuh rasa bangga tetap memandang matahari yang terbit? Saya ingin mencoba mencintai semua. Dan bertahan dalam hidup ini.

Hidup adalah pilihan. Hidup untuk menghidupkan atau hidup untuk membunuh. Karena kebebasan memilih itu maka manusia kadang berlaga ˜tuan atas dirinya sendiri, atas diri orang lain dan atas alam. Saling memangsa barangkali berakar dari œketuanan diri manusia. Padahal, pilihan hidup yang lain dan barangkali mulia juga karena diajar-ajarkan oleh beberapa nilai budaya, agama dan ideologi adalah saling menghidupkan.

Tapi kadang, karena tuntutan hidup yang kian hari kian mendesak oleh hedonisme dan konsumerisme juga hasrat untuk berkuasa, maka nurani manusia untuk berbuat baik harus takluk dan tunduk pada tuntutan itu. Manusia, akhirnya mengalami suatu perubahan yang sangat radikal. Ada yang awalnya seperti domba, putih mulus, tapi karena sesuatu, tiba-tiba berubah menjadi tikus kantor. Tak puas hanya seperti itu, belakangan bahkan menjadi serigala lapar yang siap memangsa siapa saja yang ada di hadapannya. Lebih parah lagi, ketika serigala-serigala lapar itu membentuk satu gerombolan untuk cita-cita jahatnya. Barangkali gerombolan serigala itu adalah rezim!

Kepada diri manusia agama memang sering bertanya atau bahkan mengecam kebobrokan hidupnya. Tapi, agama itu di dalamnya ada juga manusia-manusia yang potensinya untuk tiba-tiba berubah menjadi serigala lapar sama dengan preman kampung yang terdesak karena sebotol miras. Begitu juga dengan politik sebagai nilai. Banyak orang yang mengatakan bahwa politik sebagai nilai adalah baik, tidak jahat. Tapi dari dalamnya, ternyata berdimensi ganda juga. Bisa baik, bisa jahat. Tergantung akan diapakan oleh pelakunya. Kebanyakan yang kita lihat adalah pemerkosaan terhadap kebaikan politik yang dilakukan oleh tentu para pelaku politik itu. Belakang kita mendengar bahwa di dunia politik tidak ada sahabat yang sejati. Yang ada hanya kepentingan yang sejati dan abadi, barangkali.

Inilah realitas kita. Kita diberi kebebasan untuk memilih dan berbuat sesuatu pada pilihan- pilihan yang ada. Kalau memilih untuk berbuat baik, maka dalam proses perlawanan dengan kejahatan, harus ada sebuah gerakan masal. Silakan memilih!