Artikel-artikel Terbaru

Neoliberalisme dan Gerakan Kultural Tou Minahasa


Oleh: Denni Pinontoan


Wajah Lain Kolonialisme dan Imprealisme dalam Neoliberalisme

Awal dari kolonialisme Bangsa Barat (Spanyol, Portugis, dan menyusul Inggris serta Belanda) terjadi sekitar akhir abad 15, yaitu antara lain ditandai dengan ditemukannya benua Amerika oleh Colombus. Kolonialisme kemudian semakin gencar dilakukan bangsa Barat kira-kira mulai awal abad 16. Sejak itu perlahan tapi pasti dunia mulai berporos pada satu peradaban, yaitu Bunia Barat. Sementara Dunia Timur dianggap kafir, bodoh dan terkebelakang. Padahal, di dunia Timur ini jauh sebelum kelahiran peradaban Barat itu, telah lebih dulu lahir beragam kebudayaan dan agama, misalnya Hindu dan Budha di India dan Tao dan Kong Hu Cu di Cina. Kelahiran agama-agama itu sekaligus juga menandai adanya peradaban maju di Dunia Timur sejak berapa abad SM. Di Dunia Timur inilah terdapat beragam sumber daya alam yang kemudian diincar oleh bangsa Barat. Selanjutnya…

=======================================

GOLPUT: Gerakan Kritik terhadap Orientasi Politik Elit Kita

Oleh Denni Pinontoan

29-Jan-2009, 15:03:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Ternyata yang paling gerah dengan fenomena Golongan Putih (Golput) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Betapa tidak, organisasi keagamaan Islam ini, bahkan sampai mengeluarkan fatwa haram bagi umatnya yang menjadi Golput. Aneh, sebab kenapa hak memilih untuk memilih atau tidak memilih digeser ke wilayah sorga dan neraka, atau tidak berdosa dan berdosa? Tapi, tulisan ini tidak bermaksud mengulas fatwa MUI itu, melainkan berusaha fokus pada fenomena Golput dalam Pemilu di Indonesia, yang terlanjur dikontroversikan. Selanjutnya…

=======================================

Bicara-bicara Tentang Caleg

Om Alo:

Ben, sekarang kata pilih caleg musti lia depe kualitas kang?

Om Beno:

Lantaran berdasarkan suara terbanyak?

Om Alo:

Dorang bilang bagitu.

Tanta Nece:

Tu ja bilang kualitas caleg bagini so?

Om Alo:

Kita lei nda tau no. Soalnya samua tu baliho-baliho caleg punya, ja bilang-bilang tu bagus.

Om Beno:

Iyo stou, depe kualitas doi no. Bagus nyanda depe banyak.

Tanta Nece:

Oh, jadi sbantar torang pe pemilu sama deng blante sapi dang?

Om Beno:

So bagitu stou..

Om Alo:

Kalu bagitu kita musti pilih partai yang ada gambar sama deng sapi dang?

Om Beno:

Kalu kita kwa mo pilih jo yang ada gambar sama deng pohong.

Tanta Nece:

Kita woon mo pilih parangpuang pe partai. Mar, nda ada kwa no. KPU nda kase lolos stou, lantaran depe lambang kata kwa dorang pe rencana parangpuan punya.

Om Alo:

^$#***!



Om Beno:

Oh, bagus itu.....

******************************************************

Dilema Sistem Suara Terbanyak dalam Pemilu 2009


Oleh : Denni Pinontoan


[www.kabarindonesia.com]

Akhir Desember 2008 lalu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menerapkan pola suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih di Pemilu 2009. Dengan demikian sekarang memilih caleg tidak lagi ditentukan oleh nomor urut, tapi suara terbanyak. Maka terkejutlah caleg-caleg yang waktu lalu berebutan nomor urut. Bahkan ramai terdengar banyak caleg yang telah membayar pimpinan partai untuk berebutan nomor urut jadi. Bukan hanya bagi partai lama, tapi partai baru juga terdengar marak praktek jual beli nomor urut. Mereka yang terlanjur membeli nomor urut kini gigit jari. Selanjutnya…

******************************************************

”Mesias Lahir di Pinabetengan”

(Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer)

Oleh Denni Pinontoan

Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks. Selanjutnya...

******************************************************

Menggagas Gerakan Kultural Orang Muda Minahasa:

Sebuah Usaha Melanjutkan Pemikiran Sam Ratu Langie

Oleh: Denni Pinontoan

(Disampaikan pada diskusi terbuka bertajuk “Sam Ratu Langie, Siapa yang Melanjutkan?” yang diselenggarakan oleh Gerakan Minahasa Muda (GMM), Selasa, 11 November 2006 di Hotel Tou Dano, Tondano - Minahasa)

Sejumlah pertanyaan tentang eksistensi Orang Muda Minahasa dan manusia Minahasa pada umumnya dalam pergaulan nasional, baik soal gerakan dan pemikirannya beberapa waktu terakhir ini kembali mengemuka. Pertanyaan ini bukan tanpa alasan yang rasional. Sebab, sebagai sebuah bangsa yang terkenal cerdas dan berani, tentu ketika suara-suara dari Minahasa hampir tidak lagi terdengar di level nasional bahkan internasional, maka ini tentu memunculkan pertanyaan. Soal siapa bangsa Minahasa tempo dulu, seorang jurnalis sekaliber Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, memuji Minahasa dengan berkata, ”Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.” Selanjutnya

******************************************************

Pembaruan Gerakan dan Pemikiran Kaum Muda:

Sebuah Harmonisasi Perbedaan Demi Kebenaran dan Kehidupan


Oleh: Denni Pinontoan

Ruang politik, social dan ekonomi kita yang besar adalah Negara Indonesia. Pada ruang yang lebih kecil, kita ada di daerah Sulut ini. Tapi, lebih kecil dari itu, tapi memiliki daya gerak yang besar, adalah komunitas kita sendiri yang meski berbeda-beda ideology, tapi dalam pemikiran dan gerakan ternyata bertemu dalam keprihatinan yang sama terhadap penderitaan rakyat. Selanjutnya

******************************************************

Mengenal Kepercayaan Masadé di Sangihe

Laporan Denni Pinontoan, dari Tahuna, Kepulauan Sangihe

Pemimpin adalah Kitab Hidup

sulutlink.com

Ketika kami memasuki di desa Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, Kab. Kepulauan Sangihe, sepintas tak ada yang lain di desa ini. Rumah-rumahnya, dinamika para penduduk, serta keadaan alam pegunungan Sangihe yang sama dengan beberapa desa lain di sekitarnya. Hari itu, Rabu (9/7). Waktu itu hari telah sore, kira-kira pukul 16.30 wita. Di atas sepeda motor yang dikendarai Mat Bahsoan, penggiat di Perkumpulan Kelola yang sedang menangani Program Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat di Kab. Sangihe, kami melihat penduduk di desa ini masih sibuk dengan pekerjaannya. Selanjutnya...


******************************************************

Menanti Janji Kaya di Masa Depan

Oleh Daniel A Kaligis

[www.kabarindonesia.com]

LETUP bom bunuh diri, kedasyatan yang mewakili irama kematian karena mesin pembasmi mencari mangsa mereka yang diincar keberingasan. Oh betapa secerca harapan dari puing-puing krisis berkepanjangan, yang menguatkan suara kelaparan dan kekurangan gizi di banyak lokasi, daya beli terpuruk, kekerasan dalam pemaksaan kehendak menumpukkan lebih banyak lagi persoalan sosial di muka bumi ini. Dana berbandrol miliaran terkucur untuk sedih yang tak berujung, tapi tangis tak berakhir, tawa mereka yang berpesta atas nama demokrasi sudah mencuatkan kegusaran yang tinggi di andrenalin ragu-ragu, sebab hukum terbeli bukan cuma perkara moral dan kebiasaan belaka. Tanyakan berapa banyak lagi pemekaran yang diumumkan untuk melaksanakan “panas” suara hati yang terbeli. Kita masih sok religius membisikan ketertindasan sistem, dan kenyataan derita selalu dipelintirkan show debat publik yang menggelitik ketersinggungan. Sumbu api ditarik dari kompor demokrasi berbingkai tirani. Ia sudah lama menyala, dan titiknya semakin memanas. Selanjutnya...

******************************************************


23 September 2008

Desa, Negara dan Partai Politik di Indonesia

Oleh Denni Pinontoan

Sungguh menarik ketika menyaksikan program siaran Debat Partai di TVOne (Kamis, 5 September) yang menghadirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Salah satu topik menarik yang didebatkan oleh dua partai itu melalui masing-masing juru bicara adalah soal eksistensi desa. Masing-masing pembicara berbicara seolah-olah paham benar tentang persoalan ribuan desa di Indonesia. Tapi, itu kan debat partai, jadi yang ditampilkan adalah retorika yang kosong dan justru berbahaya bagi sekitar 70 persen rakyat Indonesia yang hidup di pedesaan. Selanjutnya....

******************************************************

LARA:

Cerpen Daniel Kaligis

"Pergi....pergi...pergi..................

Pergilah Lara,

Air mata sudah kering, semata memandangi kisah tanah kita yang tergadai

Tabung bencimu di negeri seberang"...

Selanjutnya....

******************************************************

Sebuah Sikap Bagi Tangan Tengadah

Oleh: Daniel Kaligis

TELAPAK masih menadah. Ada juga tangan-tangan yang mengisyaratkan rela terus memberi. Pada sebuah pedoman yang terdiam jutaan ketika menyebut, “bila tangan kanan memberi, janganlah tangan kiri mengetahuinya”. Tetapi, pemberian yang selalu disebut-sebut sekarang ini adalah sesuatu yang dimaklumi dan supaya diketahui banyak manusia, apalagi ketika dipublikasikan media masssa. Dan memberi yang saat ini sudah membuka sejumlah keresahan, bahkan ada yang terkapar sebelum harapan terkabul. Selanjutnya...

******************************************************

5 September 2008


Negara Gagal


Oleh: Benni E. Matindas

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor. Selanjutnya...

******************************************************

Jangan Pilih Politisi Busuk!

Oleh Erny Jacob, SE

Meski Pemilu nanti akan diselenggarakan tahun depan, namun sejumlah tahapan pesta demokrasi itu telah dilaksanakan. Antaranya, pada tanggal 19 Agustus lalu, KPU dan KPUD di masing-masing daerah telah menerima nama-nama bakal calon anggota legislatif yang akan diusung oleh setiap Partai Politik untuk menjadi anggota legislatif. Ada yang menarik dalam proses pencalegkan sekarang, bahwa KPU memberikan kesempatan kepada publik untuk mengenal dan menilai bakal-bakal caleg yang didaftarkan Parpol sebelum ditetapkan di Daftar Caleg Tetap (DCT). Meski memang, kita belum tahu sejauh mana efektifitas cara ini untuk mendapatkan caleg yang pro rakyat dan bersih dari perilaku korup dan zinah. Tapi setidaknya, ini adalah pintu masuk bagi rakyat atau para pemilih untuk mengenal lebih jauh caleg yang akan dipilihnya nanti. Jangan salah pilih, sebab politisi busuk masih banyak yang berambisi untuk duduk lagi dikursi panas kantor dewan. Selanjutnya…

Minggu, 17 Agustus 2008

Ratu Oki di Desa Kali Tombatu

Laporan Denni Pinontoan

Tombatu-Leput412. Awalnya, ketika baru memasuki Wanua (pemerintah menyebutnya desa) Kali, kecamatan Tombatu, tidak terkesan sesuatu yang istimewa. Wanua itu, sepintas serupa dengan wanua-wanua lain yang ada di Tanah Minahasa. Rumah-rumah panggung khas Minahasa, beberapa di antaranya kelihatan berdiri kokoh. Tapi banyak juga rumah-rumah yang bermodel modern dengan semen, besi, dll sebagai bahan bakunya. Tampak juga sejumlah gereja dengan menaranya yang menjulang tinggi, seakan-akan telah menggapai awan berdiri kokoh menghiasi wanua itu. Para ibu-ibu, sibuk dengan urusan rumah tangganya, tapi juga ada yang kelihatan baru pulang dari kebun. Para suami, ada yang kelihatan masih sibuk dengan pekerjaan rutinnya. Anak-anak kecil riang bermain di halaman rumah.
Wanua Kali, kira-kira 10 menit dari ibu Kota Kecamatan Tombatu. Biasanya, dapat ditempuh dengan ojek, dengan ongkos Rp. 2.000 per orang. “Tidak terlalu jauh jaraknya,” kata seorang tukang ojek.
Jika dari Tombatu, kalau kita menuju ke wanua Kali, di salah satu lokasi kita akan menyaksikan pemandangan danau Bulilin, yang tenang laksana seorang yang sudah uzur usianya. Menurut cerita warga setempat danau Bulilin menyimpan sejumlah sejarah terkait dengan terbentuknya sub etnis Tombatu itu.
Siapa yang tahu, kalau ternyata salah satu sub etnis di Minahasa itu, dulunya pernah mengenal sistem kerajaan. Adalah sejarahnya orang-orang Toundanow atau Tonsawang atau juga Tombatu yang mengisahkan itu. Cerita turun temurun di sub etnis itu meyakini bahwa di zaman penjajahan bangsa Spanyol (bangsa ini disebut orang setempat dengan Tasikela) pernah hidup seorang pemimpin perempuan yang mereka sebut Ratu Oki.
“Memang dulu di sini, pernah bertakhta seorang pemimpin perempuan yang warga setempat di sini menyebutnya Ratu Oki,” kata Opa Ellon Pongulu, lelaki berusia 80 tahun yang dirujuk oleh Hukum Tua wanua Kali untuk mencari tahu tentang sejarahnya Ratu Oki dan Tombatu tersebut.
Opa Ellon yang pernah menjabat Ketua Jemaat GMIM “Kalvari” Kali ini menceritakan, sebelum terbentuknya sub etnis Tombatu dan wanua-wanuanya, daratan yang menjadi pemukiman sekarang adalah danau. “Tombatu ini, dulunya, menurut cerita yang diturunkan kepada kami oleh para tua-tua ditutupi oleh air danau Bulilin. Saya pikir itu memang benar adanya, karena sisa danau yang telah mengecil tersebut masih ada hingga sekarang, yaitu danau Bulilin,” kata Opa Ellon yang ditemui di kediamannya di wanua Kali.
Selain danau Bulilin, ada juga danau-danau kecil lainnya di Tombatu. Selain keadaan geografisnya yang dikitari oleh sejumlah gunung dan perbukitan, danau-danau kecil yang terdapat di sejumlah wanua di sub etnis Tombatu, memperkuat kepercayaan mereka bahwa daratan yang didiami sekarang dahulunya adalah danau. Di wanua Kali, selain danau Bulilin, ada juga danau Sosong dan Kasah. Sementara di wanua Silian ada danau Kawelaan.
Danau-danau ini sangat terkait dengan kisah terbentuknya daratan Tombatu. Danau Bulilin, dulunya adalah danau besar yang meliputi Tombatu, wanua Silian, wanua Kali dan wanua Kuyanga. “Danau Bulilin menjadi kering sehingga berubah menjadi daratan untuk bisa menjadi lokasi pemukiman adalah usaha dari Dotu Lelemboto. Ia membuat semacam parit atau juga terowong besar di wanua Kuyanga sebagai tempat keluarnya air danau Bulilin,” jelas Opa Ellon.
Kisah tentang Ratu Oki, sangat dekat di kalangan warga setempat. Dikisahkan, Ratu Oki adalah seorang pemimpin perempuan yang pemberani. Dia gigih memimpin perang melawan penjajah Spanyol atau orang-orang Tasikela itu. “Bukti sejarahnya masih ada hingga sekarang. Di atas bukit itu (sambil menunjuk ke sebuah bukit) ada Batu Lesung. Kami di sini, lewat cerita turun temurun, mengerti itu sebagai tempat mencuci tangan dan kaki Ratu Oki,” kata Opa Ellon.
Bersama Hukum Tua kali Yunus Tiouw ( 52 thn) kami kebetulan sebelumnya sempat mengamati Batu Lesung yang dimaksud Opa Ellon. Batu lesung itu berada di sebuah bukit yang jaraknya kira-kira 300 meter dari perkampungan. Batu lesung itu, berdiameter 50 cm. “Warga yang ke kebun kadang menggunakan batu lesung ini sebagai tempat menggosok peda (parang – red), sehingga bentuknya tidak teratur seperti ini,” kata Tiouw sambil meraba-raba batu lesung tersebut yang permukaan pinggirnya tidak lagi rata.
Menariknya, di dalam batu lesung tersebut terdapat air, yang menurut Tiouw, tidak pernah kering meski musim kemarau berkepanjangan. “Menurut cerita, dari dahulu, batu lesung ini memang ada airnya. Di sinilah Ratu Oki mencuci tangan atau kakinya,” jelas Tiouw.
Kiprah Ratu Oki dalam panggung sejarah anak suku Tombatu, menurut P.A. Gosal, dkk dalam makalah mereka berjudul Ringkasan Sejarah Toundanow-Tonsawang yang disampaikan pada Musyawarah Kebudayaan Minahasa (27-28 Juli 1995 di Auditorium Bukit Inspirasi Tomohon) berkisar di tahun 1644 sampai 1683. Waktu itu, terjadi perang yang hebat antara anak suku Tombatu (juga biasa disebut Toundanow atau Tonsawang) dengan para orang-orang Spanyol. Perang itu dipicu oleh ketidaksenangan anak suku Tombatu terhadap orang-orang Spanyol yang ingin menguasai perdagangan terutama terhadap komoditi beras, yang kala itu merupakan hasil bumi andalan warga Kali. Di samping itu kemarahan juga diakibatkan oleh kejahatan orang-orang Spanyol terhadap warga setempat, terutama kepada para perempuannya.
Perang itu telah mengakibatkan tewasnya 40 tentara Spanyol di Kali dan Batu (lokasi Batu Lesung sekarang – red). Naasnya, di pihak anak suku Tombatu, telah mengakibatkan tewasnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde tidak lain adalah suaminya Ratu Oki. Menurut yang dikisahkan dalam makalah itu, Panglima Monde tewas setelah mati-matian membela istrinya, Ratu Oki.Menurut P.A. Gosal, dkk., dalam masa kekuasaan Ratu Oki, anak suku Toundanow (sebutan lain untuk anak suku Tombatu atau Tonsawang) yang mendiami sekitar danau Bulilin hidup sejahtera, aman dan tenteram. “Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toudanow maka Ratu Oki disahkan juga sebagai Tonaas atau Balian. Selama kepemimpinnan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak Toundanow,” tulis Gosal, dkk.

Jumat, 15 Agustus 2008

Merdeka!!!!


Merdeka!
Apa? Kita sudah merdeka? Lihat hasil jepreten Andre itu. Ada bapak berjalan telanjang kaki di jalan yang berlubang dan penuh kerikil….

Kamis, 14 Agustus 2008

"Kembali ke Manusia dan Budaya: Tawaran Solusi Untuk Deklinasi Pendidikan di Minahasa"

Oleh Greenhill Weol


Man vs. Machine

Rusuh hasil Ujian Nasional komputerisasi itu masih belum pudar dari ingatan. Di berbagai daerah penolakan-penolakan malah telah memicu beberapa tindak vandalisme, baik dari siswa yang merasa dirugikan atau pihak keluarganya, yang telah cukup meresahkan masyarakat hingga jatuh korban. Pro-kon yang terjadi kemudian adalah tentang perlu-tidaknya Ujian Nasional atau tentang etis-tidaknya penggunaan komputer sebagai mesin pemeriksa serta pengelola hasil ujian. Lalu, saya adalah termasuk yang tidak setuju.

Ada yang berargumen bahwa menyerahkan nasib seorang peserta didik, yang adalah manusia selengkap-lengkapnya ini, di tangan sekumpulan kabel, timah dan arus listrik yang disebut komputer itu adalah sebuah tindakan yang terlalu naif. Saya setuju itu. Memang, jika dikatakan bahwa komputer memiliki daya analitik yang begitu stabil, cepat, tepat dan akurat itu benar. Saya pun tidak akan membantah jika dikatakan bahwa komputer punya error margin yang sangat kecil. Tetapi, seorang Bill Gates pun mau tak mau harus mengamini ini, komputer bukanlah periferal yang error-free. Saya punya komputer dengan spek yang cukup advance. Dengan komputer ini saya dapat melakukan apa saja, begitu lebih-kurangnya, yang membuat saya sangat bersyukur bisa lahir di abad Microsoft ini. Informasi yang bisa saya kelola keluar-masuk bisa sangat banyak dan memang hasilnya hampir tak pernah cacat. Hampir.

Tahun di belakang saya kelimpungan mencari obat untuk virus karya anak bangsa yang namanya Brontok. Padahal, saya punya perlindungan antivirus yang ternyata Cuma mempan menangkal virus-virus import. Dapat memang, setelah menunggu enam bulan. Tetapi kemudian ada mampir juga varian Brontok A, Brontok B, Brontok MyBro, Brontok Laknats, Brontok Sensasi, dst., dst. yang daftarnya bisa sepanjang menu di restoran. Sudahlah membahas dari mana dan bagai mana penyakit-penyakit itu, yang jelas komputer saya berantakan. Segalanya yang stabil, cepat, tepat dan akurat itu lenyap sudah. Tersisalah sebuah mesin yang berpikir dan bertindak laksana seorang skizo. Dan, sekedar informasi, di dunia saat ini ada setidaknya 2 juta virus komputer yang siap melumpuhkan, atau setidaknya mengacaukan mesin ini. Jadi, sekali lagi, rasanya terlalu naif untuk percaya sepenuhnya pada sekumpulan besi tak berperasaan ini. Kalau begitu kepada siapa tanggung jawab akan keberhasilan anak-anak kita?

Guru. Ya, orang yang setiap hari berinteraksi dengan sang murid. Orang yang mengamati tiap usaha, tiap kegagalan dan tiap keberhasilan yang dialami sang murid hari demi hari sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di halaman sekolah sampai di hari ujian akhirnya. Orang yang mengajar, mendidik dan membina sang murid dengan intelektualitas, totalitas, dan diatas semuanya: perasaan dan kasih sayang. Demi Tuhan! Tak ada penilaian yang lebih sahih dari penilaian seorang guru. Jika kemudian yang dipertanyakan adalah objektivitas, bahwa dari komputer didapatkan hasil yang lebih fair dan objektif tanpa beban dan muatan, tanpa memandang bulu, dan tanpa memandang resiko, maka saya akan menyarankan agar di meja hijau pengadilan juga, ketimbang memakai hakim yang malah rawan suap itu, lebih baik ditempatkan seperangkat komputer (yang bebas virus tentunya), bukan begitu? Lantas, bagaimana menemukan guru yang kapabel untuk melakukan semua hal-hal ideal diatas? Pada poin ini saya sebenarnya lebih percaya a good teacher is born, not made. Tetapi, saya juga percaya good things come to those who work, not only wait.


Mencetak Guru: Creating The Man of Steel?

Minahasa Masih Kekurangan Ribuan Guru, begitu sebuah tajuk berita di halaman pendidikan sebuah surat kabar lokal. Di halaman hiburan ada berita tentang preview film Superman Returns. Saya tersenyum. Dua hal yang berbeda tapi persis sama. Mengapa? Karena menurut saya menciptakan guru yang berkemampuan ibarat menciptakan seorang manusia super.

Pada penerimaan CPNS baru lalu, ada porsi yang cukup signifikan yang khusus direservasi untuk guru, dan fakta selalu berkata bahwa setiap penerimaan pegawai negeri pasti sold out layaknya tayang perdana sebuah film blockbuster Holywood sekelas, ya itu tadi, Superman Returns. Semua orang ingin nonton. Semua orang ingin jadi PNS (sejujurnya, termasuk saya). Seorang teman yang bermodalkan ijazah S1 dan sedikit faktor luck (ia mujur punya saudara “tempat tinggi”, begitu maksud saya) tahun ini akhirnya berhasil menerima jaminan gaji plus pension seumur hidup. Saya sedikit bagara: “jadi guru dang, eee!” Dia menjawab dengan kalem: “sala sala no, tumbus di situ”. Dua puluh lima tahun lalu ibu saya juga mulai mengenakkan seragam KORPRI dan PGRI-nya. Katanya, pada masa itu guru (juga) dibutuhkan dalam jumlah besar, sehingga jika ingin pekerjaan yang paling tersedia ya itu, jadi guru. Saya anak yang berbakti, saya menganggap ibu saya termasuk tipe guru yang luar biasa, tetapi something is really wrong in here. Kelihatannya, dalam kurun puluhan tahun terakhir, lebih banyak guru yang tercipta dari demand untuk mengisi ruang lowong ketimbang dari pure calling untuk menjadi guru.

Saya senang menulis, saya menulis karena saya senang dan saya menulis karena itu membuat saya senang. Saya bisa duduk menulis bejam-jam hingga lupa apa pun (kecuali makan). Saya tidak berkata bahwa saya tidak dapat hidup tanpa menulis, tetapi saya merasa tanpa menulis saya tidak menjadi seseorang yang saya inginkan. Saya merasa bahwa tanpa menulis saya tidak memberikan apa yang saya mampu berikan untuk orang lain. Bagi saya menulis itu panggilan, bukan pekerjaan (di Manado jadi penulis memang belum bisa menghidupi!). Lalu saya berpikir: bukankah jadi guru juga seharusnya begitu? Lalu, apakah ini doable? Saya bertanya kepada ibu saya, berdasar pengalamannya di dunia pendidikan, apakah ini bisa diujudkan, dan dia menjawab: “ngana cari pa mner Hengky Rondonuwu. So dia tu guru yang butul-butul guru”.

Culture-Conscious Education

Orangnya sederhana tetapi classy. Usianya senja, namun pemikirannya masih cukup tajam, radikal dan, terlebih, visioner, khas pemikir Minahasa. Saya beruntung dapat bersua dengannya pada sela riuh-rendah Pengucapan Syukur di Wuwuk, Tareran, Minahasa Selatan yang baru lewat. Kami duduk-duduk di fores rumah dan dia mulai bercerita. Beliau sekarang sudah pensiun dari mengajar di ruang kelas, namun ternyata, layak iklan susu buat orang lanjut usia itu, masih seorang guru yang penuh dedikasi. Buktinya, saya “dikuliahi” lima jam non-stop dimulai dari statement “kita kalo maso klas mo mengajar, nyanda pernah bawa buku”.

Menurutnya, seorang guru adalah pengajar, pendidik dan pelatih bagi setiap murid. Ini bukan idealnya. Ini hakikatnya. Mengajar baginya berarti membuat murid menjadi tau apa yang sebelumnya mereka tidak tau. Mendidik adalah membuat murid mengerti apa yang tidak dimengerti. Melatih adalah membuat murid mampu melakukan yang sebelumnya tidak bisa mereka lakukan. Ketiganya adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan seutuhnya. “Yang terjadi sekarang adalah banyak guru yang tidak mampu mensinergikan ketiga hal ini. Bahkan, lebih banyak lagi yang tidak tahu akan ketiga dalil ini”, dengusnya. Maka output yang dihasilkan adalah pribadi-pribadi yang tidak lengkap pula, simpulnya. “Pola pendidikan yang paling sempurna, padahal, telah dimiliki dan diterapkan oleh kita, bangsa Minahasa, sejak dahulu kala”.

Falsafah “Touna’as” yang menempel dalam ruang hidup budaya Minahasa, menurutnya, adalah solusi yang paling menjawab bagi permasalahan penurunan mutu pendidikan di tanah ini. Touna’as, yang kemudian saya definisikan sebagai seorang yang memiliki “pengetahuan” ini, adalah sebuah taraf tertinggi penghargaan terhadap person-person yang dinilai outstanding dalam sendi-sendi peri kehidupan masyarakatnya. Adapun “pengetahuan” yang dikandung oleh seorang touna’as adalah perpaduan antara penguasaan akan keterampilan olah fisik, penguasaan pengetahuan kekuatan-kekuatan alam (yang saat ini harus saya kontekstualkan sebagai penguasaan akan science dan teknologi), dan kemudian pengertian mahaluas akan kehidupan, yang mungkin lebih akrab disebut sebagai kebijaksanaan. Niscaya, seseorang dengan kombinasi unsur-unsur ini akan memiliki sebuah “kekuatan” yang luar biasa. Jadi, ternyata, analogi “Knowledge is Power” bukan sesuatu yang baru lagi bagi leluhur kita. “Begitu seharusnya orang Minahasa dididik dan mendidik!”, tandas mner Hengky. Kesalahan terbesar terjadi ketika kita kemudian menerima pola didik yang tidak kompatibel. “Minahasa seharusnya tidak mengimplementasikan falsafah ‘tut wuri handayani’ dalam pendidikan di daerah ini, sekalipun itu mungkin yang menjadi falsafah pendidikan nasional Indonesia, sebab sama sekali tidak sesuai dengan tata kehidupan dan budaya Bangsa Minahasa. Ini kesalahan fatal!”, semburnya. “Cara Jawa mungkin akan berhasil di masyarakat yang menganut sistem masyarakat multi-level, tetapi, maaf saja, tidak akan sukses diberlakukan di masyarakat Minahasa yang horizontal. Jadi, sudah saatnya dunia pendidikan di desentralisasi juga. Let us do things our way!”. Masuk akal, kan?

Tak terasa malam telah beranjak tua. Angin dari bukit Tareran berhembus dingin. Kelas larut malam ini harus ditutup. Sang Guru tua ini meneguk sloki sopinya yang terakhir seraya pamit pulang...

Seni Untuk Publik

Oleh : Andre GB

Dunia saat ini adalah kapitalisme, tak terkecuali Indonesia. Telah banyak ekonom - ekonom kritis yang dengan sadar memberi nama baru untuk sistem ini dengan melihat perkembangannya yang semakin gila di akhir abad 20 : neoliberalisme. Dari sudut pandang ekonomi politik, kapitalisme dapat diartikan tentang bagaimana suatu aspek kehidupan, yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang, menjadi milik segelintir orang yang beruntung (secara ekonomi). Dan kerja – kerja kesenian, semacam lukisan-lukisan, buku – buku puisi, kerajinan tangan ataupun ukir-ukiran, lagu - lagu dan sebagainya, bukanlah pengecualian dari hukum umum ini.

Dewasa ini, kondisi tersebut bagaimanapun telah menjadi suatu realitas di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana lukisan-lukisan indah, patung-patung berestetika tinggi, sampai ke kerajinan-kerajinan tangan bermutu dipajang dan dijual dengan harga sangat tinggi di galeri-galeri bonafit. Dalam ingatan waraga Sulut, khususnya di kota Manado tentu masih ingat tragedi terjualnya lukisan Sonny Lengkong ketika pameran tunggalnya diadakan di salah satu hotel mewah di kota Manado mencapai total lebih dari Rp 300 juta beberapa waktu silam ? Tentu saja akhirnya, para penikmat seni yang datang ke galeri ataupun pameran pun relatif mapan secara ekonomi. Tak jarang sebuah karya seni mahal tersebut setelah laku terjual, dibawa pulang ke rumah, diletakkan dalam satu ruangan khusus yang hanya bisa diakses segelintir orang, atau untuk dinikmati oleh pribadi ataupun keluarganya. Sebuah karya seni telah kehilangan sifat publiknya.

Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kesenian termasuk menikmati karya seni. Karya seni telah semakin nyata teralienasi dari manusianya seiring berjangkitnya neoliberal sebagai perkembangan tertinggi kapitalisme dunia. Sepertinya, tangan manusia semakin kurang panjang agar mampu menggapai karya – karya seni tersebut. Yang ironisnya justru lahir dari bekal pengalaman yang kemudian lahir dan menemukan medianya dalam bentuk karya seni.

Namun setiap thesis tentu memiliki anti-thesis. Realitas kesenian di bawah imperum kapitalisme pasti memiliki kontradiksi internal dalam dirinya. Untuk dapat membongkarnya, pertama-tama kita harus mengetahui dengan benar bagaimana wujud kerja kapitalisme dalam kesenian.

MISTIFIKASI SENI

Secara teori, perpusatakaan, museum maupun galeri dimaksudkan untuk menjamin akses publik terhadap kesenian, menyediakan ruang tertentu agar nyaman dalam menikmatinya, dan memang sukses tetapi dalam derajat tertentu. Meskipun demikian, masih banyak apresian seni, terutama yang berkemampuan ekonomi lemah, telah terlanjur membenarkan dalam pikirnya bahwa tempat – tempat semacam itu tidaklah mungkin dibuat untuk kalangan mereka. Suasana khidmat perpustakaan besar, museum dan galeri membuat mereka seperti terintimidasi. Sebagaimana kenyataan sekarang bahwa tempat – tempat itu memang “ada” untuk kaum menengah maupun kelas atas. Dan sungguh sebuah kesialan yang sangat tepat untuk watak masyarakat kita yang masih kurang percaya diri dalam mengapresiasi maupun untuk menghasilkan karya seni itu sendiri.

Seorang teoritikus seni terkenal, John Berger, menggambarkan proses yang sedang berlangsung ini sebagai sebuah bagian utuh dari kecenderungan umum mistifikasi terhadap kesenian di dalam dunia kapitalisme. Seorang Pierre Bourdieu, ahli sosiologi Perancis, melakukan obsevasi yang mirip seperti diatas. Penelitian itu mengantarkannya pada sebuah fakta bahwa terdapat perbedaan cara pandang terhadap kesenian untuk maing – masing kelas sosial yang berbeda tingkatannya. Secara hegemonis maupun ekonomis, kelompok masyarakat kelas bawah akan dipaksa untuk terus menganggap bahwa karya-karya seni yang tengah dipajang di galeri-galeri adalah suatu hal yang sakral (bukan untuk kalangan mereka) dan tidak terjangkau.

Langkah kedua adalah tentang bagaimana upaya sistematis dari kapitalisme untuk terus mencegah akses manusia secara luas terhadap kesenian adalah dengan menjadikan karya seni sebagai komoditi mewah untuk diperjual belikan di pasar dengan harga yang sangat mahal.

Seniman-seniman profesional didorong untuk tunduk dan membebek pada pola pasar agar bisa terus bertahan hidup. Sedang sekelompok kecil individu – individu yang kaya raya memiliki dan menguasai karya – karya seni yang mashyur dan mahal. Tak luput untuk ketinggalan, institut - institut kesenian, sebagai alat ideologi formal penghasil seniman – seniman, secara seragam mengajarkan kepada semua anak didiknya bagaimana berkesenian agar mampu terjual dengan harga tinggi nantinya. Dan secara tak sadar, akhirnya mereka melakukan kerja kesenian dengan tidak menggunakan sense, melainkan logika pasar. Sayangnya logika tersebut pada perjalanannya, semenjak lahirnya di abad 18, tak pernah seiring dengan logika mayoritas rakyat.

SENI LANGSUNG TURUN KE JALAN

Lalu bagaimana cara untuk melawan arus kapitalisme dalam seni ? Salah satu carayang bisa dicoba adalah dengan mengeluarkan seni dari perpustakaan elit, museum ataupun galeri ke jalanan. Biarkan seluruh apresian seni yang adalah rakyat, dari tua muda, kaya maupun miskin, mampu menikmatinya. Galeri – galeri mewah itu terlalu sakral untuk masyarakat kita yang mayoritas adalah kaum miskin. Setidaknya meletakkan kesenian di jalanan akan menghancurkan elitisme dari galeri - galeri, museum – museum, maupun perpusatakaan elit, sekaligus untuk mendapatkan kembali ruang publik dan menghambat upaya - upaya pengkomoditian kesenian.


Hal ini contohnya telah banyak dilakukan oleh seniman-seniman muda di Sulawesi Utara. Di bidang seni pertunjukan, pentas teater jalanan yang diadakan oleh Teater Kronis Manado selama rentang tahun 1997 sampai 2004, Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut sepanjang 2001 sampai 2005, lalu dilanjutkan Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado selama rentang tahun 2005 - 2007, adalah anti thesis terhadap pertunjukan – pertunjukan teater yang digagas oleh lembaga – lembaga pemerintah (penguasa) seperti Persatuan Artis Teater Sulut (PATSU) ataupun Dewan Kesenian Sulawesi Utara, yang hanya terus sembunyi di gedung – gedung mewah, sibuk dengan lomba – lomba yang lebih berorientasi pada kalah menang dan perebutan uang hadiah.

Di bidang seni rupa, bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh seniman Arie Tulus bersama Mawale Art Comunity pada tanggal 7 April 2007 bersamaan dengan pentas dan musikalisasi puisi, ia memamerkan lukisan – lukisannya di ruang terbuka dan secara langsung menjemput apresiasi publik. Mendorong terciptanya iklim apresiasi seni yang kondusif yang dengan serta merta dapat menjawab kebutuhan para seniman tentang isi perutnya.

Di bidang sastra, penerbitan buku – buku puisi karya penyair lokal secara underground dan peluncurannya yang justru hanya di laksanakan di sekretariat – sekretariat komunitas ataupun kelompok seni, atau kedai kecil di fakultas Sastra UNSRAT. Sebuah ruang yang terbuka akan akses para apresian, tanpa harus menemukan kesulitan yang berarti. Buku – buku yang juga dicetak dan di publikasikan secara underground menjadi tamparan telak bagi banyak seniman mapan yang ingin karya – karyanya diterbitkan oleh penerbit besar dan akhirnya secara sadar menjebakkan diri dalam budaya mengemis. Dan ketika biaya menjadi hambatan, proses kreatifpun seringkali mandek atau bahkan berhenti sama sekali.

Di bidang seni musik, apa yang dilakukan oleh musisi Witho Bangsat Abadi (yang populer lewat hitsnya Maitua & Aku Bukan Dispenser) mungkin bisa dijadikan bukti nyata betapa untuk menghasilkan seni yang kerakyatan dan anti hegemoni dan privatisasi adalah mungkin. Lagu – lagu ciptaannya yang kemudian populer di chart indie beberapa radio lokal seperti Radio Suara Minahasa (93.3 FM) dan SIP FM tidaklah direkam di studio mewah yang penuh peralatan mahal. Namun hanya berbekal kemampuan memanfaatkan teknologi lalu mempublikasikannya lewat jaringan seni yang dipunyai (ingat, bahwa pacar, teman, ataupun keluarga termasuk jaringan seni kita yang paling dekat), Witho BA memberi bukti eksistensi musik indie di tengah gempuran major label yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan. Dan tentu saja ada garansi akan kualitas karya musik tersebut.

Tentu saja, hanya dengan adanya kesenian di jalan tidak secara otomatis menjadikan kesenian tersebut kerakyatan dan menghasilkan iklim apresiasi yang positif. Kita pasti ingat, bahwa para penguasa di negeri manapun selalu membangun patung-patung atau monumen – monumen mengenai diri atau kekuasaan mereka untuk ditampilkan di tempat – tempat publik. Tujuan bangunan – bangunan tersebut adalah untuk mengintimidasi rakyat dan membuat agar kita terus menganggap bahwa kekuasaan mereka yang otoriter itu adalah hal yang alami. Tak perlu mengambil contoh jauh – jauh, para penguasa kerajaan - kerajaan di Nusantara pun tidak lupa melakukannya. Berbagai prasasti, patung-patung dan artefak lainnya peninggalan zaman mereka telah menunjukkan kecenderungan itu. Terlepas bahwa apa yang dihasilkan juga merupakan sebuah hasil dari tingkat kesenian pada saat itu.

Tapi konsep kesenian model penguasa yang saat ini dipraktekkan pada rakyat akan sangat jauh berbeda dari kesenian jalanan yang sejati. Mereka (karya – karya seni penguasa) hanyalah merupakan alat agitasi dan propaganda penguasa pada rakyatnya demi langgengnya kekuasaan. Kesenian jalanan yang kerakyatan menunjukkan suatu potensi bagi sebuah dunia di mana kesenian adalah bagian integral dari hidup kita. Sebuah perayaan atas kretivitas kita dan kekayaan atas imajinasi kita. Program – program kesenian yang bersifat massal (misal : program sejuta mural untuk rakyat) di seluruh kota haruslah menjadi prioritas pertama untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni. Sehingga nantinya, masyarakat kita yang mengerti akan estetika dari sebuah karya seni bukan hanya sekedar mimpi.

Pilih yang Mana?

Oleh Denni Pinontoan

Di penjara Karlau, dekat Graz, Austria, seorang napi, namanya Muradif Hasanbegovic, berhasil lari lolos dari penjara. Pria berusia 36 tahun ini, ternyata berusaha memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk lolos dari hukuman penjara. Terpidana 7 tahun penjara atas kasus perampokan itu membungkus dirinya sendiri dalam parsel besar supaya bisa keluar dari penjara! Waw, ini yang namanya, tiada rotan akar pun jadi.

Akal cerdik Muradif bisa terlaksana karena di penjara itu, tahanan tersebut bekerja sebagai pembantu pengepakan dan pengiriman barang. Ia membungkus dirinya sendiri dalam parsel berukuran besar. Tahanan lainnya yang tidak mencurigai apa pun, kemudian memasukkan paket itu ke atas truk. Begitu mobil pergi meninggalkan penjara, Muradif keluar dari parsel dan langsung melompat turun dari bagian belakang truk. Pria itu pun kabur. Petugas akhirnya dibuat terkecok. Karena, sampai situs detikcom memberitakan Muradif belum bisa ditangkap petugas. Ini baru bilang, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Muradif berbeda dengan Michael Johnson, napi yang dihukum mati di penjara Texas . Johson tidak tewas karena kena tembak oleh petugas setelah ia ketahuan berusaha kabur atau ekkseusi matinya dipercepat. Ia mati karena bunuh diri. Johnson ditemukan tewas bersimbah darah pada Kamis 19 Oktober 2006 pukul 14.45 waktu setempat.

Padahal, tanpa bunuh diripun Johson tetap akan mati, sebab ia direncanakan akan dieksekusi sekitar empat jam dari waktu bunuh dirinya itu, yaitu pukul 18.00 di hari yang sama. Sebelum bunuh diri, terpidana mati itu meninggalkan pesan yang ditulis dengan darahnya sendiri. Pesanya, "Saya tidak melakukannya.

Dan¦kedua pria ini berbeda dengan Mantan Diktator Cile Jenderal Augusto Pinochet. Baru-baru ini, sebelum ia wafat, untuk pertama kalinya ia mengambil tanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan semasa pemerintahannya 1973-1990. Di rentang waktu itu Pinochet menjadi pemimpin yang buas dengan melakukan ribuan pembunuhan politik dan dianggap bertanggung jawab atas penyiksaan dan pemenjaraan tidak sah.

Menurut sebuah laporan resmi, sejumlah 3.197 orang tewas karena alasan politis di bawah Pinochet, termasuk lebih dari 1.000 orang yang dibuat menghilang. Ribuan lainnya dipenjara secara tidak sah, disiksa atau dipaksa hidup di pengasingan.

Tapi, tiga laki-laki ini mewakili kebanyakan manusia penghuni planet ini dalam menghadapi persoalan yang pelik. Ada yang lari dari persoalan, ada yang kalah, sementara yang lainnya justru melawan persoalan itu. Kita pilih yang mana?

Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa idealis di tahun 60 yang ikut menumbangkan kekuasan Orde Lama pernah bertanya dalam dirinya soal bagaimana ia menghadapi masa depannya. Dalam catatan hariannya tertulis tanggal 26 Oktober 1968, ia berkata, "Saya tak tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa lalu mencoba menteror dunia? Atau sebagai orang yang gagal tetapi dengan penuh rasa bangga tetap memandang matahari yang terbit? Saya ingin mencoba mencintai semua. Dan bertahan dalam hidup ini.

Hidup adalah pilihan. Hidup untuk menghidupkan atau hidup untuk membunuh. Karena kebebasan memilih itu maka manusia kadang berlaga ˜tuan atas dirinya sendiri, atas diri orang lain dan atas alam. Saling memangsa barangkali berakar dari œketuanan diri manusia. Padahal, pilihan hidup yang lain dan barangkali mulia juga karena diajar-ajarkan oleh beberapa nilai budaya, agama dan ideologi adalah saling menghidupkan.

Tapi kadang, karena tuntutan hidup yang kian hari kian mendesak oleh hedonisme dan konsumerisme juga hasrat untuk berkuasa, maka nurani manusia untuk berbuat baik harus takluk dan tunduk pada tuntutan itu. Manusia, akhirnya mengalami suatu perubahan yang sangat radikal. Ada yang awalnya seperti domba, putih mulus, tapi karena sesuatu, tiba-tiba berubah menjadi tikus kantor. Tak puas hanya seperti itu, belakangan bahkan menjadi serigala lapar yang siap memangsa siapa saja yang ada di hadapannya. Lebih parah lagi, ketika serigala-serigala lapar itu membentuk satu gerombolan untuk cita-cita jahatnya. Barangkali gerombolan serigala itu adalah rezim!

Kepada diri manusia agama memang sering bertanya atau bahkan mengecam kebobrokan hidupnya. Tapi, agama itu di dalamnya ada juga manusia-manusia yang potensinya untuk tiba-tiba berubah menjadi serigala lapar sama dengan preman kampung yang terdesak karena sebotol miras. Begitu juga dengan politik sebagai nilai. Banyak orang yang mengatakan bahwa politik sebagai nilai adalah baik, tidak jahat. Tapi dari dalamnya, ternyata berdimensi ganda juga. Bisa baik, bisa jahat. Tergantung akan diapakan oleh pelakunya. Kebanyakan yang kita lihat adalah pemerkosaan terhadap kebaikan politik yang dilakukan oleh tentu para pelaku politik itu. Belakang kita mendengar bahwa di dunia politik tidak ada sahabat yang sejati. Yang ada hanya kepentingan yang sejati dan abadi, barangkali.

Inilah realitas kita. Kita diberi kebebasan untuk memilih dan berbuat sesuatu pada pilihan- pilihan yang ada. Kalau memilih untuk berbuat baik, maka dalam proses perlawanan dengan kejahatan, harus ada sebuah gerakan masal. Silakan memilih!

Rabu, 13 Agustus 2008

Produk Gagal Pemilu 2004


Oleh Rikson Karundeng


“Jadi anggota DPR RI itu ternyata sangat enak. Sekali sidang mendapat bayaran sebesar Rp 1,5 juta. Belum lagi gaji, segala tetek-bengek tunjangan yang diperoleh, plus "angpoa-anggpoa" yang diterima dari berbagai pihak. Pokoknya sedap benar jadi anggota Dewan. Nikmat," kata seorang asisten pribadi salah seorang anggota DPR RI asal sulut.

Tidak mengherankan, jika banyak orang benar-benar tertarik menjadi anggota Dewan. Dana miliaran rupiah berani mereka keluarkan untuk bisa memperoleh kursi empuk di DPR RI. Seringkali partai politik pun lebih memilih mengambil orang di luar partai dari pada kadernya sendiri, untuk menempatkan seseorang menjadi calon anggota DPR. Asal, calon tersebut mampu memberikan sejumlah dana tertentu untuk kepentingan kegiatan Parpol. Alhasil, pada saat terpilih kerap beberapa anggota DPR RI pun berusaha keras mengembalikan modal yang dikeluarkan.

Secara sederhana, sesungguhnya gaji anggota Dewan sudah sangat memadai karena di atas kisaran Rp 20 juta lebih. Bila dikalkulasi dengan sejumlah tunjangan dan "angpao-angpao" yang mereka terima, maka ada yang menyebut anggota Dewan minimal menerima Rp 50 juta per bulan. Jadi, secara finansial anggota DPR RI memang luar biasa. Dalam setahun diperkirakan paling rendah penghasilan anggota Dewan sebesar Rp 600 juta.

Penghasilan yang sedemikian besar ternyata belum cukup bagi sebagian anggota Dewan. Sejumlah kasus yang mencuat beberapa waktu terakhir ini sepertinya bisa menjadi bukti kerakusan para wakil rakyat kita. Misalnya, kasus Buyan Royan yang ditangkap KPK karena upeti dari pembelian kapal patroli, Sejumlah kasus serupa yang dilakukan para anggota dewan terhormat seperti kasus anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nur Nasution terkait dugaan menerima suap pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan yang diiringi dengan mencuatnya kasus suap anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sarjan Tahir, terkait pembebasan lahan hutan mangrove untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu yang diduga turut juga melibatkan 10 anggota Komisi IV DPR RI lainnya.

Selain suka memeras, para anggota DPR kita ternyata gemar juga berfoya-foya walau harus menghabiskan uang rakyat. Pada tanggal 14-20 Desember 2006 lalu misalnya, pada saat melakukan kunjungan ke London, Inggris, sebagian anggota DPR RI diduga berpesta sambil berjudi di Hardrock Casino London, tempat perjudian mewah di Inggris. Selain itu, sejumlah kasus amoral lain yang melibatkan anggota DPR RI, sempat juga mencuat ke permukaan. Sebut saja kasus video porno yang melibatkan anggota DPR RI dari partai Golkar, Yahya Zaini dan kasus foto syur dan pelecehan seksual yang dilakukan Max Moein dari PDIP.

Awal tahun ini juga masyarakat Indonesia dihebohkan dengan informasi yang dibeberkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai 40-an anggota DPR RI periode 2004 - 2009 yang diduga terlibat korupsi. Sebagian besar berasal dari PDI Perjuangan (15 orang), Partai Golkar (10 orang) dan Partai Persatuan Pembangunan (8 orang). Sisanya dari Partai Demokrat (3 orang), Partai Amanat nasional (3 orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1 orang). Dalam laporannya, ICW juga menyebut nama-nama anggota dewan yang diduga terlibat korupsi serta jenis dan besaran korupsi yang mereka lakukan.

Selain kasus-kasus ini, banyak juga kasus dugaan korupsi dan kasus amoral lain yang melibatkan anggota Dewan tidak diusut seperti keterlibatan dalam perjalanan dinas ke Hongkong dan Korea Selatan. Bahkan ada juga yang sudah dibebaskan atau dihentikan perkaranya. Ya, boleh jadi persoalan-persoalan di DPR RI yang menunjukkan rakusnya anggota Dewan tersebut dengan uang, gaya hidup bermewah-mewah: mobil mewah, rumah mewah, telepon selular mewah, dan seterusnya yang menunjukkan tidak adanya sense of crisis para anggota Dewan, boleh jadi kalau ditelusuri lebih mendalam, kasus-kasus yang terungkap hanyalah sebagian kecil dari "keculasan" para anggota DPR RI.

Di tengah tekanan ekonomi yang masih luar biasa bagi sebagian besar masyarakat, adanya krisis energi dan krisis pangan di Indonesia, seharusnya "sebagai wakil rakyat", para anggota Dewan memiliki kepedulian terhadap penderitaan masyarakat. Tidak sebaliknya, justru berpesta-pora di atas penderitaan masyarakat kita. Sungguh merupakan tindakan amoral-apa yang dilakukan anggota Dewan dengan menikmati "uang-uang suap, upeti" atas keberhasilan mereka memperjuangkan sebuah proyek dan peraturan bahkan perundang-undangan. Kita patut mengatakan, itulah bentuk keserakahan dari para wakil rakyat. Kita memang bisa mengatakan lengkap sudah tindakan amoral para wakil rakyat itu : terlibat perselingkuhan wanita, video porno, baku hantam, koruptif, dan manipulatif. Sungguh memprihatinkan.
Sudah berulang kali terungkap kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Namun, hingga saat ini, kesadaran guna membenahi citra bopeng tersebut masih belum juga digalakkan. Tertangkapnya Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, Antony Zeidra Abidin, Noor Adenan Razak dan Sarjan Tahir, merupakan bukti kebenaran asumsi bahwa gedung DPR adalah sarang korupsi, kasus suap dan segala bentuk varian tindakan amoral, antietika lainnya.
Mereka yang tertangkap hanya bagian kecil dari fenomena’’ gunung es’’ karena untuk menggolkan satu perundangan dan keinginan dari pemerintah daerah atau instansi terkait terlebih dahulu meminta persetujuan DPR dan ini dijadikan kesempatan untuk memeras. Sudah terlalu banyak kasus yang menodai lembaga terhormat DPR-RI sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif tentu merosot tajam. Walaupun hingga saat ini lembaga tersebut belum terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Kondisi DPR di tigkat propinsi dan Kabupaten/Kota juga tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di DPR RI. Sebab para wakil rakyat yang amoral banyak juga yang bercokol di sana. Kalau mau melihat bukti, barangkali lembaran putih yang tersedia untuk tulisan ini tidak akan sanggup menampung dertan kasus anggota DPRD yang sudah terbukti, dalam proses penyelidikan maupun yang belum disentuh sama sekali atau memang telah sengaja dimentahkan.
Kasus-kasus yang melibatkan para wakil rakyat ini memang merupakan persoalan klasik di lembaga tersebut. Namun, setelah reformasi dan masyarakat diberi peran untuk menentukan siapa wakilnya di parlemen, barangkali sangat realistis jika para wakil rakyat yang dihasilkan benar-benar figure yang bermoral dan mampu pemperjuangkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Tapi kenyataannya, produk pemilu 1999 tidak berbeda jauh dengan produk pemilu sebelumnya dan produk pemilu 2004 yang masih bercokol hingga saat ini ternyata lebih parah lagi. Kenyataan ini tentu bisa menjadi bahan refleksi bagi lembaga legislatif dan bagi masyarakat Indonesia secara khusus yang akan berpartisipasi dalam pemilu 2009 nanti. Para pemilih barangali perlu lebih cerdas lagi memilih figure yang ideal sehingga tidak mudah ditipu dan tidak akan mengalami kekecewaan dikemudian hari.

Pemilu 2004 dan produk yang dihasilkannya pasti akan menjadi pelanjaran penting bagi rakyat ke depan. Menghadapi rakyat yang semakin cerdas, maka partai-partai peserta pemilu 2009 tentu harus juga lebih cerdas. Artinya, lebih cerdas dalam menentukan figure yang akan dicalonkan sebagai wakil rakyat dan bukan lagi sekedar mencari kader yang bisa mendanai kepentingan partai dengan nafsu kekuasaannya. Sebab bisa dipastikan, partai-partai yang tidak mampu memenuhi keinginan rakyat, tidak bisa memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya bagi rakyat, serta partai yang hanya mau menampung sederet kriminil di negeri ini, tidak akan laku di hati rakyat dan akan terdegradasi dengan sendirinya.Masyarakat Indonesia juga tentu berharap ke depan, Badan Kehormatan DPR bisa lebih jeli serta objektif dan lembaga-lembaga hukum di Indonesia bisa lebih konsisten menegakkan hukum di negeri ini agar para wakil rakyat produk pemilu selanjutnya bisa mengingat bahwa berbagai sangsi dan tindakan hukum akan menanti para anggota dewan yang amoral.

PEREMPUAN DAN KEKUASAAN

(Secuil Pemikiran Tentang Keterlibatan Perempuan Dalam Politik Praktis Indonesia)


Oleh Riane Elean


"Right to vote and right to be candidate". Siapapun warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil. Demikian antara lain sepenggal kalimat idealis yang turut memberi warna dunia politik dunia. Bagi Negara Republik Indonesia, idealisme yang menempatkan setiap warga negara dalam posisi yang sama dalam dunia politik, dinyatakan secara gamblang dalam UUD 1945 Pasal 28-D ayat (3): "Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". “setiap warga negara” berarti siapa saja, tanpa ada pembedaan, termasuk pembedaan jenis kelamin. Perempuan maupun laki-laki memiliki peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan wewenang atau otoritas dalam pemerintahan. Pertanyaan sekarang adalah: apakah idealisme yang tertuang dalam konstitusi itu mampu “mewajah” dalam praktek berpolitik masyarakat kita? Apakah laki-laki dan perempuan telah memperoleh porsi seimbang dalam “melakonkan” berbagai peran politik yang sementara dimainkan di negara ini? Mari kita lihat:
o Dalam sejarah politik Indonesia sejak pemilihan pertama tahun 1955. Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 persen perempuan di parlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 persen. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 persen. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 persen tahun 1992-1997, 10,8 persen menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 persen pada periode 1999-2004.
o Dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Dari 36 jabatan yang ada, perempuan hanya menduduki empat posisi, yakni Dr. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Marie Pangestu (Menteri Perdagangan), Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan), Siti Fadillah Supari (Menteri Kesehatan). Sisanya didominasi oleh kaum laki-laki.
o Di lembaga MPR, jumlah perempuan hanya 18 orang (9,2 persen), dan laki-laki 177 orang. Sedangkan di DPR ada 45 perempuan dan 455 laki-laki (9 persen), di lembaga MA hanya ada 7 perempuan dan 40 laki-laki (14,8 persen), di BPK sama sekali tidak ada perempuan dan laki-laki ada 7, di DPA hanya ada 2 perempuan sedang laki-laki ada 43 orang (4,4 persen), di lembaga KPU juga hanya 2 perempuan dan laki-laki 9 orang (18,1 persen).
o Di tingkat daerah. Tiga puluh gubernur yang ada di Indonesia saat ini di jabat oleh kaum laki-laki, sementara dari 336 Bupati yang ada di Indonesia, hanya lima di antara mereka atau 1,5 persen saja yang diduduki oleh perempuan.
Beberapa data di atas sungguh berbanding terbalik dengan hasil sensus penduduk terkini yang menunjukkan bahwa jumlah kaum perempuan di Indonesia lebih banyak dari kaum laki-laki, yakni 51 persen. Jika data-data di atas dipakai sebagai tolok ukur menilai seberapa besar keterlibatan perempuan dalam kancah politik praktis di Indonesia, barangkali dapat dengan mudah disimpulkan bahwa dari segi kuantitas, perempuan masih kalah dibanding laki-laki.

Mengapa keterlibatan perempuan dalam kancah politik praktis menarik untuk dipercakapkan panjang lebar? Mengapa keterlibatan perempuan dalam pemerintahan “ngotot” diperjuangkan oleh sejumlah pihak? Apakah ada korelasi antara angka keterwakilan perempuan dalam pemerintahan dengan kebijakan yang berpihak kepada perempuan? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, barangkali kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan orang berpolitik. Menurut para teoritisi, yang mendorong seseorang memainkan peran aktif dalam politik ialah karena ada dorongan kemanusiaan yang tidak dapat diabaikan, yakni untuk memperoleh kekuasaan. “Politik” menurut mereka merupakan permainan kekuasaan, termasuk siapa, kapan dan bagaimana mendapatkan kekuasaan itu. Dalam kaitan dengan hal tersebut, J. Leibu dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat” mengaitkan antara “kekuasaan” (power) dengan “kewenangan”(authority). Kekuasaan didefinisikannya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan pemikiran dan tingkah laku orang lain, sedangkan kewenangan adalah hak untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Pada prinsipnya, kekuasaan itu menunjuk pada potensi, sedangkan wewenang menunjuk pada hak. Dengan demikian, pengaruh kaum perempuan dalam mengendalikan situasi sosial, termasuk di dalamnya pengambilan kebijakan yang berpihak pada perempuan, sangat ditentukan oleh seberapa besar keterlibatan mereka pada posisi-posisi strategis pembuat kebijakan. Singkatnya, seberapa besar posisi tawar perempuan dalam sebuah sistem sosial tergantung pada seberapa besar pula kekuasaan yang dimilikinya untuk meyakinkan atau bahkan memaksa pihak lain melakukan sesuatu.

Pemaparan di atas memunculkan sebuah hipotesis bahwa rendahnya tingkat keterlibatan perempuan dalam lembaga publik tidak mungkin mewakili kepentingan-kepentingan perempuan yang diharapkan, karena jumlahnya yang berada dibawah Critical mass. Apakah hipotesis tersebut bisa diuji? Barangkali penelitian yang pernah dilakukan sebuah institut di negeri “Paman Sam” bisa merepresentasi hipotesis ini. Sebuah penelitian yang dilakukan Institute for Women’s Policy Research yang dilakukan di seluruh negara bagian yang ada di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di negara bagian yang mempunyai keterwakilan perempuan lebih tinggi memiliki kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan sumber daya dan hak-hak perempuan. Dengan demikian bisa jadi bahwa akan sangat sulit mendapatkan berbagai kebijakan yang memperjuangkan dan memproteksi hak-hak perempuan, seperti: perlindungan perempuan dari kekerasan, sampai pada perluasan akses terhadap ekonomi dan pendidikan, jika keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan tersebut kecil.

Masih adanya pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) di mana perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara wilayah publik dianggap tempatnya laki-laki, kebutuhan perempuan yang masih banyak ditentukan oleh laki-laki sebagai pihak yang mendominasi kekuasaan, merupakan dua hal yang dinilai beberapa pihak merupakan dampak dari pembagian kekuasaan yang belum berimbang. Akar dari kecenderungan ini entah karena sistem budaya masyarakat kita yang cenderung patriakal, sebagian besar perempuan masih dikungkung kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, ataukah karena keengganan perempuan itu sendiri untuk membangun kekuatan penyeimbang dengan cara terjun langsung ke dunia politik praktis. Untuk hal itu, penelitian yang lebih mendalam masih diperlukan. Namun satu hal yang pasti, porsi kekuasaan yang dimiliki akan sangat menentukan posisi dan kemudahan hidup perempuan di tengah masyarakat.

Jika kemudian telah muncul kesadaran bahwa porsi kekuasaan turut menentukan posisi tawar perempuan dalam suatu sistem sosial, pasti kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memperoleh kekuasaan itu. Kekayaan material, kedudukan, birokrasi, dan kemampuan khusus di bidang ilmu pengetahuan, secara sosiologis merupakan sumber kekuasaan. Namun, yang paling umum kekuasaan tertinggi berada pada negara. posisi tawar perempuan harus bisa merambah sampai pada ranah tersebut agar mampu mendapatkan posisi tawar yang kuat dan bisa menghasilkan pengaruh yang signifikan.

Ada beberapa hal yang barangkali bisa menjadi referensi bagi kaum perempuan untuk menancapkan pengaruhnya di tengah masyarakat. Pertama, perempuan harus bisa menunjukkan kelebihan dalam pengetahuan maupun kemampuan-kemampuan konstruktif lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana perempuan secara cerdik (bukan secara licik) memanfaatkan peluang sekecil apapun. Dengan demikian, luasnya wawasan yang diperoleh dari pendidikan secara formal maupun non-formal merupakan sebuah kemutlakan. Hal ini penting agar semua strategi yang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan maupun aplikasinya dalam wujud penentuan kebijakan, di dasarkan pada pertimbangan multi ilmu. Kedua, perempuan harus bisa menunjukkan sifat dan sikap yang diharapkan dan dapat dijadikan pedoman prilaku. Pada bagian inilah moral dan prinsip hidup turut menentukan kharisma sang perempuan. Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan dan bahkan barangkali merupakan faktor penentu berhasil tidaknya perempuan mendapatkan posisi strategis dalam masyarakat, yakni kemauan untuk tampil atau menjadi pemain aktif dalam politik praktis. Jangan hanya menjadi the mute voice dan sekedar penggembira dalam sistem sosial kita. Karena harapan tanpa usaha hanyalah akan menghasilkan mimpi belaka.

Selain hal-hal di atas, apakah ada hal lain lagi yang perlu dibahas terkait dengan topik “perempuan dan kekuasaan”? Tentu masih ada, bahkan masih sangat banyak lagi. Namun cukup secuil inilah dulu -dari bahan yang panjang lebar itu- untuk bagian ini. Untuk perempuan, selamat berpolitik! Mudah-mudahan yang secuil ini bisa berarti.

Penulis, alumni Fakultas Teologi UKIT,
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Unsrat
(Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pembangunan)Akhir Agustus 2008

Kasih yang Menghidupkan

Oleh Denni Pinontoan

Suatu hari di Jepang:
Seorang tukang sedang merenovasi sebuah rumah. Si tukang itu mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor kadal terperangkap di antara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah paku.
Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek paku itu, ternyata paku tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana kadal itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Si tukang itu lalu berpikir, bagaimana kadal itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada paku itu!
Tukang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan kadal itu. Dalam hati ia bertanya apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan hidup selama 10 tahun itu? Sesuatu yang tak terduga ia saksikan. Tak tahu dari mana datangnya, seekor kadal lain muncul dengan makanan di mulutnya. Melihat hal tersebut, si tukang itu merasa takjub. Ternyata kadal yang terperangkap mendapat perhatian dan bantuan makanan dari seekor kadal lain.
Kadal yang lain itu, ternyata telah menunjukkan kasihnya yang tak terhingga dan tak pernah menyerah serta tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Sungguh sebuah inspirasi bagi kita manusia, betapa cinta dan kasih kepada sesama, mestinya adalah tanpa pamrih, sehingga menghidupkan.
Demikian sebuah kisah yang saya kutip dari situs http://kisah-ku.blogspot.com. Kata si penulis kisah ini, cerita ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang.
Kisah tentang hubungan kasih dua kadal ini, seolah-olah mengoreksi cara hidup kita manusia yang semakin individualis dan konsumeris. Ketika kepentingan pribadi dan kelompok menjadi fokus hidup, maka penderitaan sesama manusia yang lain kadang harus diabaikan, bahkan banyak yang menyebabkan penderitaan. Kita memang masih sering saling menolong dan membantu orang lain, tapi kebanyakan di antaranya telah terjadi dalam sebuah hubungan dagang.
Memang, selain makhluk social, manusia adalah juga makhluk ekonomi. Kalau ingin bertahan hidup, maka manusia harus siap masuk ke dalam wilayah pasar yang kadang liar dan ganas. Itu fakta dalam kehidupan manusia modern. Tapi mestinya pada saat-saat tertentu, ketika kehidupan telah sangat terancam oleh kemiskinan dan ketidakadilan, panggilan kemanusiaan kita mestinya tak harus lagi memperdulikan soal untung rugi secara ekonomis untuk melakukan suatu kebaikan pada manusia di sekitar.
Kita memang tak bisa memungkiri kenyataan hidup ini telah dipenuhi dengan berbagai kepentingan ekonomi dan politik. Tapi setidaknya, kasih dan cinta yang terkandung dalam nurani kita mestinya melampaui kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi itu. Sebab, manusia pada dasarnya ada dan berada dalam hubungan yang tak terpisahkan dari kehidupan sosialnya. Manusia tak akan dapat bertahan hidup bila tak bersosialisasi, yang di dalamnya terjadi sinergi: saling memberi dan saling menerima. Kasih dan cinta terhadap kehidupan, menjadi dasar hubungan-hubungan itu.
Kadalpun bisa tergerak nalurinya untuk membantu dan menolong sesamanya yang sedang dalam keadaan sulit, apa lagi kita manusia yang hidup bukan hanya karena naluri tapi juga akal pikiran. Kita manusia mestinya tetap berproses dalam suatu tujuan yang mulia, yaitu kehidupan.
Hidup manusia, sejatinya tidak hanya untuk dirinya sendiri. Kita rajin bekerja, tentu tidak pertama-tama adalah untuk kekayaan kita sendiri. Selain memang adalah untuk melanjutkan proses hidup pribadi, tapi, dari proses gerak yang sementara kita kerjakan mestinya akan menjadi cahaya dan pengerak peradaban. Seorang pemulung sampah pun, dari kerjanya seperti itu, sadar atau tidak, sebenarnya sedang melakukan sesuatu untuk proses keberlanjutan hidup banyak orang. Bayangkan, kalau tidak ada orang yang memilih menjadi pemulung, seperti apa keadaan sampah kita? Sampah yang bertumpuk terus menerus, tanpa dikurangi dengan kerja pemulung tentu akan membawa dampak bagi lingkungan dan kerja pembangunan negara. Seorang pemulung, dari kerjanya, sebenarnya sedang dalam usaha memberi suatu bagi peradaban, yaitu demi keberlanjutan kehidupan banyak orang. Ini suatu contoh kepada kita betapa hidup ini sejatinya adalah untuk semua, untuk keberlangsungan kehidupan dunia ini.
Kasih sesungguhnya tak pernah berharap imbalan dan menembus batas-batas perbedaan. Kasih yang menghidupkan laksana lilin yang siap mengorbankan dirinya demi seberkas cahaya dalam kegelapan. Ketika semua di sekitar kita seolah-olah telah kesetanan berlomba untuk kekayaan dan kekuasaan diri sendiri, kasih sekecil apapun dari kita bisa memberi cahaya pengharapan bagi manusia-manusia yang menderita karena struktur yang tidak adil dan kerakusan sekelompok orang mengejar harta kekayaannya sendiri. Kasih yang sejati sesungguhnya menghidupkan dan membangkitkan gairah hidup. Tanpa kasih dunia pasti sudah lama hancur!

Dari Kacang Sangrai sampai Ragey Tersedia




Wisata Kuliner di Kawangkoan

Laporan Denni Pinontoan (sulutlink.com)

Kota Kecil Kawangkoan, sebuah kawasan yang tak terlalu berubah akibat modernisasi. Warga di sini masih setia dengan beberapa adat istiadat Minahasa. Berbicara pun, mereka masih kental dengan Bahasa Manado Melayu dan Bahasa Minahasa (makatana) rumpun Toutemboan. Hubungan kekerabatan antar warga pun masih kental.

Kota Kawangkoan yang termasuk di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Minahasa ini, terletak di daerah pegunungan, yang udaranya relatif masih sejuk seolah-seolah tidak sedang bermasalah dengan global warming.


Ke Kota Kawangkoan, dari Kota Manado, kita membutuhkan waktu kurang lebih sejam. Kalau dari Kota Tomohon, waktunya kira-kira hanya setengah jam atau kurang.


Dari arah Kota Manado dan Tomohon, memasuki Kota Kawangkoan, kita akan melihat beberapa gua Jepang, di sebuah tempat yang disebut Ranowangko. Bahkan, di kelurahan Sendangan, ada Gua Lima Puluh Kamar. Disebut Gua Lima Puluh Kamar, karena jumlah kamar di gua ini konon berjumlah 50 buah. Objek wisata ini sebenarnya menarik, tapi sayang pemerintah kabupaten belum menata dan mengolahnya secara serius. Di kelurahan Kinali ada juga Air Panas, yang bagus untuk terapi kesehatan.


Tapi kali ini kita tidak akan ke tempat-tempat wisata itu. Sebab, Anda pasti pernah dengar, bahwa Kota Kawangkoan terkenal dengan sebutannya sebagai Kota Kacang. Ini terkait dengan yang khas di kota ini, yaitu Kacang Sangrai yang gurih, lezat dan renyah. Kacang Sangrai pun menjadi salah satu sumber pendapatan bagi warga di kota kelahiran sejumlah tokoh pergerakan ini. Ada warga yang berprofesi menjual dan ada warga yang bekerja memproduksi kacang Sangrainya. “Tapi sebenarnya, kacang-kacang itu tidak semua ditanam di Kawangkoan ini. Banyak di antaranya yang diambil dari luar Kawangkoan, misalnya Tompaso,” ujar Doni Masengi, warga Kelurahan Talikuran, yang bersedia menemani sulutlink berwisata kuliner kali ini.


Kebanyakan kacang sangrai bisa kita temui di pusat Kota Kawangkoan. Jenis kacang Sangrai yang dijual di kota ini ada dua, yaitu kacang biasa, tapi dan kacang yang banyak diminati pembeli, yaitu kacang jenis belimbing. “Kalau kacang sangarai jenis belimbing, rasanya lebih gurih, dan buah kacangnya lebih besar dan padat. Tapi harganya memang lumayan juga, sekitar Rp. 7000 sampai Rp. 7500 perliter,” ujar Doni. Kami pun coba menyantapnya. Wow, memang enak.
Para pelancong yang singga di kota ini sering menjadikan kacang sangrai ini sebagai oleh-oleh untuk sanak family yang menunggu di rumah. Selain kacang sangrai ada juga jenis jajanan lainnya, misalnya halua yang terbuat dari gula merah dan kacang, kemudian bagea, kue kering yang terbuat sari sagu, dan ada juga kacang goyang. Semua kue kering ini memang khas Minahasa. “Kebanyakan pembeli di sini, selain warga yang melewati kota ini setelah bepergian dari kota lain, tapi ada juga para turis yang ingin menikmati kuliner khas Minahasa,” jelas Doni.

Tapi di kota ini bukan hanya kuliner yang kering-kering. Sajian makanan yang basah-basah juga terdapat di kota ini. Selain terkenal dengan kacang sangrai, kota Kawangkoan juga terkenal dengan Bakpao atau Biapong khas Kawangkoan. Ada Biapong yang isinya daging babi, ada juga biapong yang isinya temo. Sejumlah rumah kopi di pusat kota kawangkoan menjadikan Biapong sebagai menu andalannya. Dan, biapong memang enak disantap bersama dengan kopi susu, teh susu, atau kopi pahit manis saja. Selain biapong, ada juga roti bakar. Roti bakarnya memang lezat, karena dibakar dengan menggunakan bara tempurung.

Ada sekitar 3 rumah kopi besar di pusat kota Kawangkoan, yaitu rumah kopi Sarinah, Toronata dan Gembira. Setiap pagi dan sore rumah-rumah kopi ini dipadati oleh para pengunjungnya. Sambil minum kopi susu dan makan biapong para pengunjung juga menggunakan waktu santai itu untuk bacirita banyak hal. Mulai dari soal bola, politik, sampai urusan dagang, blante (barter), misalnya. “Para pengunjung rumah-rumah kopi ini, selain yang dari luar, sekedar untuk singgah dan membeli jajanan, tapi juga warga Kawangkoan yang rutin ke sini sering menjadikan rumah-rumah kopi ini untuk baciria banyak hal. Ada yang bicara tentang bola, blante, bahkan juga soal politik,” kata Doni lagi.

Setelah puas dengan berbelanja oleh-oleh, dan minum kopi serta maka biapong, saatnya kita makan nasi dan berbagai jenis menu khas Minahasa, seperti ragey, RE, Tinoransak, saroy pait, dan lain sebagainya. Di Kota Kawangkoan ada beberapa rumah makan yang menyediakan menu-menu ini.

Di ujung kota ini, ada rumah makan yang cukup bagus dengan sajian menu yang lengkap, tapi bisa dijangkau oleh kantong yang pas-pasan. Di rumah makan “eleny” kita bisa memesan beragam menu khas Minahasa. Tempatnya cukup strategis, pemandangan pegunungan menambah kekhasan rumah makan ini. Di rumah makan ini tersedia ragey, sebagai menu andalan, RW, Tinoransak, saroy pait, bia santang dan lain-lain. “Ragey (sejenis sate, tapi daging babinya lebih besar), adalah khas Kawangkoan. Sekarang banyak rumah makan di luar Kawangkoan yang telah menjadikannya sebagai menu andalan,” jelas Doni.

Lengkap sudah wisata kuliner kita kali ini. Kacang Sangrai sudah, biapong sudah, ragey sudah. Apalagi? Saatnya kita pulang. Kapan-kapan kita balik lagi ke sini, berwisata ke Gua Lima Puluh Kamar atau mandi air panas di Kinali.